Apakah Nabi Juga Harus Dibawa ke Panwas?
DR. SAHARUDDIN
DAMING, S.H. M.H.
Rabu, 08 Agustus 2012
Hidayatullah.com--Mungkin Rhoma Irama tidak menyangka, ceramahnya
agar warga DKI memilih pemimpin yang seiman di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren,
Jakarta Barat, hari Ahad (29/07/2012) akan berbuntut panjang. Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) memanggilnya karena dituding telah menyebarkan 'Suku, Agama,
Ras dan Antar-Golongan (SARA) kepada warga.
Tuduhan itu
kemudian langsung dibantah Bang Haji, sapaan akrab Rhoma Irama. Ia bertanya
balik kepada pihak-pihak yang menuduh ceramahnya berpotensi SARA dalam
ketentuan Pilkada. “Bagaimana dengan kalangan gereja dan etnis Tionghoa yang
mendukung pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), apakah hal
itu bukan termasuk SARA?” katanya.
Lantas
bagaimana perspektif HAM melihat kasus Rhoma? Betulkah Si Raja Dangdut telah
menyebarkan kebencian pada etnis tertentu? Adakah pihak-pihak tertentu yang
bermain dalam hal ini? Apalagi seperti diakuai Tim sukses pasangan calon
gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara)
Rhoma Irama bukan bagian dari tim kampanye mereka.
Untuk itu, hidayatullah.com mewawancarai Anggota Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), Saharuddin Daming. Menurutnya, umat Islam memiliki
kriteria sendiri dalam memilih pemimpinnya. Dan apa yang dilakukan Rhoma
hanyalah salah satu bentuk dari tuntutan itu.
“Itu semua
adalah bagian dari kebebasan menjalankan ibadah, itu kan dijamin
undang-undang,” tandasnya. Inilah sebagian petikan wawancaranya.
Rhoma Irama mengajak masyarakat Muslim untuk memilih pemimpin beragama
Islam.
Apakah dia salah?
Mari kita
tempatkan segala sesuatu secara proporsional objektif, jelas, dan bebas dari
intrik. Harus dilakukan investigasi secara menyeluruh lepas dari berbagai kepentingan
dari orang-orang yang sedang bertarung. Bahwa Bang Haji melontarkan pernyataan
yang oleh pihak lain merasa sebagai sesuatu yang diskriminatif, saya pikir itu
tidak adil. Karena apa yang dilakukan Bang Haji pada konteks keislaman adalah
sesuatu yang tidak sekedar menjadi kewajiban bagi dirinya, tapi juga untuk
semua umat muslim karena itu adalah petikan ayat dalam Al Qur’an dan diperkuat
dalam hadis bahwa kita dalam memilh pemimpin punya kriteria.
Maksudnya?
Semua kelompok
agama apapun pasti juga punya kriteria. Saya kira dari dulu di zaman Bung Karno
ada kriteria pemimpin. Katanya, pertama dia harus Jawa. Kedua, dia harus Islam,
dan ketiga dia nasionalis. Berarti yang di luar itu sudah kecil kemungkinan.
Begitu juga di zaman Orde Baru. Maka ketika Rhoma membuat kriteria pemimpin
menurut keyakinanya adalah suatu yang sah dan tidak perlu dipersoalkan. Tapi
ketika Rhoma tampil dalam khutbah untuk mengajak pemimpin Islam, apa yang
salah? Sebagai pribadi Muslim saya kira kita terikat dengan hal itu, bukan
hanya Rhoma. Masalahnya lain, ketika Bang Haji berada pada momentum
menjadi tim sukses.
Tapi saya menyadari tidak semua orang mau menempatkan masalah ini secara
proporsional. Sekarang atsmosfer politik di Jakarta sedang hangat-hangatnya
sehingga hal itu menjadi sensitif. Saya khawatir jika ini digunakan oleh pihak
yang satu untuk menjungkirkan lawan politiknya dengan mengatasnamakan sebuah
kejadian oleh seorang superstar. Kalau saya sebagai seaorang lawyer, saya siap
membela mati-matian Bang Haji jika hal itu dipersoalkan. Apalagi Rhoma tidak
termasuk ke dalam salah satu Tim Kampanye. Dia hanya menyatakan sebagai
pribadi, lha kalau sebagai pribadi dia punya hak dong? Lalu mana itu kebebasan
berbicara dan berpendapat?
Artinya,
apa yang dilakukan Rhoma bisa tidak terkait SARA?
Itu semua
adalah bagian dari kebebasan menjalankan ibadah, itu kan dijamin undang-undang.
Tentu hal-hal seperti ini harus dibebaskan dari intrik-intrik politik. Rhoma
Irama melakukan itu kan tidak sebagai intrik politik, dia hanya menjaga gawang.
Persoalannya
kenapa yang jadi sasaran tembak oleh salah satu kubu adalah Bang Haji? Apakah
karena dia superstaratau upaya untuk menciptakan character assasination
(pembunuhan karakter)?
Waduh saya
sangat menyesalkan, jadi bangsa kita yang menjunjung demokrasi tapi kok sering
tebang pilih dan tendensius. Orang yang berbuat baik kok dibilang jahat? Memang
dunia ini dilanda keterbalikan. Yang haqq dianggap bathil. Dan bathil
dianggap haqq.
Panwaslu
memanggil Rhoma Irama dalam kasus ini. Menurut anda apakah Panwaslu memiliki
hak untuk menangkap artis, kyai atau tokoh untuk memilih pemimpin Muslim?
Kalau menangkap
sudah pasti enggak. Karena Panwaslu tidak memiliki hak untuk menangkap.
Bahwa dia berhak untuk melakukan pemeriksaan orang yang terkait dengan
pelanggaran Pemilu, itu iya. Tapi saya berpendapat pihak yang memiliki
kewenangan termasuk Panwas harus mencermati kasus untuk tidak melihat
hitam-putihnya, tapi juga dilihat dari sisi-sisi lain. Karena jangan sampai ini
dipakai orang-orang tertentu untuk meraih popularitas dan meraih rating, tapi
menjungkirkan nama baik orang lain. Apalagi kita tahu bahwa Bang Haji melakukan
itu lepas dari kepentngan politik, dia hanya melakukannya sebagai seremoni
keagamaan.
Saya juga suka
melakukan hal itu untuk mengajak orang bertakwa. Takwa itu apa sih? Takwa itu
tidak hanya sekedar mentaati segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi
larangannya, tapi juga termasuk perintah-perintah Nabi ketika kita disuruh
memilih pemimpin. Saya kira dari dulu kita umat Islam disuruh untuk memilih
pemimpin yang islami.
Jika ini
dilarang, akan ada pertanyaan, apakah Nabi juga harus dibawa ke Panwas?
Jika ada
Pendeta mengajak memilih Ahok di gereja, apakah itu juga SARA?
Kalau Rhoma
Irama bisa dipanggil, harusnya mereka juga. Jadi maaf untuk para Pendeta dan
Biksu, yang mendukung salah satu partai tentu saya yakin juga sudah mengajak
teman-temannya di Glodok untuk memilih yang sipit-sipit. Apakah itu salah? Itu
tidak salah. Itu hak orang untuk mengajak terhadap apa yang diyakininya.
Kecuali jika dibilang, ”Hei, jangan pilih Rhoma Irama karena rambutnya
gondrong.” Tapi kalau mereka mengajak untuk memilih karena alasan dia sipit,
kan boleh-boleh saja.
Apa saja contoh
yang bisa disebut SARA dalam Pilkada?
Pertama, SARA itu isunya selalu membenturkan di antara
empat kategori, yakni Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan. Jadi ada opini yang
dibenturkan di mana yang satu dianggap paling hebat dan yang satu
dijelek-jelekkan sehingga terjadi konfrontasi antar keduanya.
Kedua, dilakukan oleh orang yang berada dalam salah
satu kubu yang resmi. Jadi jika dia tidak berada dalam satu kubu, itu tidak
masuk kategori SARA.
Dalam Kapasitas
ini Rhoma Irama berarti tidak termasuk?
Iya, karenanya
menurut saya teman-teman dari Panwas salah kaprah. Paling tidak kita baca
kembali peraturan perundang-undangan, supaya kita adil dan obyektif menempatkan
kasus ini sehingga kita bisa menarik benang tanpa ada tepung yang berserakan.
Bagaimana
sebenarnya SARA dan kedudukannya di Pilkada?
SARA adalah
makhluk yang berada di ruang bebas, sehingga dia memungkinkan ditafsirkan
sesuai kehendak penafsir. Bahwa apa yang dilakukan Rhoma dikatakan SARA,
tergantung siapa yang menafsirkan itu. Kalau diminta untuk menafsirkan, saya
yakin itu sungguh terlalu naif jika digolongkan SARA. Jika itu dikatakan SARA,
akan banyak sekali orang yang dipidanakan karena mengajak kepada entitas
tertentu. Jadi itu rumitnya hidup dalam negara yang menjunjung tingggi Hak
Asasi dan demokrasi di tengah upaya umat Islam menjunjukkan identitas
keislamannya.
Akankah kasus
seperti Rhoma ini masih terus terjadi dalam konstelasi politik nasional?
Iya, sekarang
kita makin edan. Tantangan kita semakin nyata, di mana Islamphobia menggejala
di mana-mana. Umat Islam menurut saya tidak ada pilihan kecuali terus
menggerakan upaya meingkatkan kualitas keberagamaan umat hingga perlahan tapi
pasti Umat Islam Indonesia menyadari betapa hebat dan bermaknanya Islam sebagai
agama dalam menuntun berbangsa dan benegara. Sekarang ini opini yang digiring
bagaimana agama disingkirkan dari seluruh perilaku berbangsa dan bernegara
sehingga yang bermain di situ adalah setting akal, teknologi, dan konsep-konsep
Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar