Eigen Rechting di Negara Hukum
Saharuddin Daming ; Anggota
Departemen Hukum dan HAM Majelis Nasional KAHMI
REPUBLIKA, 03 April 2013
Sejak kabar tentang tragedi Cebongan
menyeruak ke ruang publik, berbagai upaya dilakukan untuk mengungkap tabir yang
masih menutup rapat insiden meng hebohkan itu. Meski TNI AD telah membentuk tim
investigasi untuk mengusut benar-tidaknya keterlibatan oknum TNI dalam kasus
itu, namun kejadian tersebut semakin melengkapi peristiwa serupa yang terjadi
sebelumnya.
Semua rangkaian kasus tersebut dalam
perspektif hukum merupakan bentuk pengejawantahan tindakan main hakim sendiri
yang dalam terminologi Belanda disebut eigen rechting. Tidak dapat disangkal
bahwa segala bentuk eigen rechting merupakan serangan langsung pada ketentuan
dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang mendudukkan Indonesia sebagai negara hukum.
Negara hukum bersandar pada
keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil
dan baik.
Ada dua unsur dalam negara hukum,
yaitu pertama: hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak
berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu norma objektif; kedua: norma
objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal, melainkan
dapat dipertahankan berhadapan dengan ide hukum. Karena itu ada empat alasan
mengapa negara menyelenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum:
demi kepastian hukum, tuntutan perlakuan yang sama, legitimasi demokrasi, dan
tuntutan akal budi. Inilah arti penting dari konsepsi nomokrasi yang
memosisikan kedaulatan tunduk pada hukum.
Sayang seribu sayang, karena hukum
yang disebut-sebut sebagai panglima dalam melaksanakan reformasi kini tampak
semakin lesu dan bopeng karena diacak justru oleh kalangan yang memiliki
kekuasaan dan/atau keuangan.
Negara hukum yang digariskan oleh
konstitusi ternyata hanyalah atribut simbolis bagi elite kekuasaan dan keuangan
untuk mengeksploitasi dan mengintimidasi kaum proletar. Hukum tak ubahnya
hanyalah milik para elite untuk digunakan sebagai sarana kontrol dalam
melindungi kepentingan mereka. Sedangkan, keadilan yang dijanjikan oleh hukum
bagi warga negara khususnya dari kalangan papa tak lebih hanyalah sekadar
ungkapan basa basi.
Tengoklah sejumlah perkara yang
melibatkan oknum penyelenggara negara, khususnya aparatur penegak hukum sebagai
pelaku kejahatan, mereka semua dapat mengintervensi proses peradilan untuk
mendapatkan impunitas, kalau bukan peradilan sesat/sandiwara demi mendapatkan
hukuman seringan-ringannya. Bukankah ini merupakan praktik eigen rechting yang
nyata dan sistemis?
Fenomena kebangkrutan hukum seperti
ini sungguh telah membolak-balikkan kebenaran dan keadilan. Betapa banyak
laporan dan pengaduan warga kepada aparat penegak hukum tentang tindakan
kriminal yang dialami warga, namun sering tidak ditindaklanjuti karena mereka
adalah kalangan miskin yang tak sanggup menyuplai nutrisi yang cukup kepada
oknum aparat. Sebaliknya, banyak tindakan penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan, dan lain-lain yang menjadi ke wenangan aparat penegak hukum
dilakukan secara berlebihan, bahkan ada beberapa yang sebetulnya tidak patut
dan tidak profesional. Namun, hal itu tetap ditindak akibat intervensi
kepentingan orang yang kebetulan memiliki kekuatan ekonomi, status sosial, dan
jabatan.
Robohnya benteng terakhir keadilan
adalah petaka besar dalam law enforcement di negeri yang telah mendudukkan diri
sebagai negara hukum (Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945). Hal tersebut terjadi akibat
makar yang dilakukan oleh para fungsionaris hukum sendiri (polisi, jaksa,
hakim, dan advokat).
Sejak sang Dewi mewasiatkan
istananya sebagai simbol penegakan hukum dan keadilan, para fungsionaris hukum
melakukan pengkhianatan dengan melepas selubung penutup matanya, sebagaimana
yang dicontohkan sang Dewi, sehingga mereka dapat bermain mata dengan para
pihak. Tak hanya itu, timbangan yang tergenggam di tangan kiri tak pernah lagi
ditera sehingga tidak dapat membedakan antara berat dan ringannya kesalahan
para pihak.
Tragisnya lagi karena pedang yang
diacungkan tangan kanan sang Dewi tak pernah lagi diasah secara betul, kecuali
hanya pada sisi bawah dan depannya saja. Akibatnya, wajah penegakan hukum
tampak seperti pisau, yang hanya tajam ke bawah dan ke depan. Akibatnya,
muncullah kultur jilat-menjilat di kalangan petualang jabatan.
Mencermati megatren eigen rechting
yang dilakukan oleh elite seperti itu, maka sebagian warga akhirnya nekat
melakukan tindakan main hakim sendiri.
Meski tak ada dasar pembenarannya,
cara itu terpaksa diambil sebagai jalan pintas untuk merebut keadilan. Semua
itu tidak lain karena panji keadilan telah dibajak oleh pengadilan sendiri.
Lembaga penegak hukum telah kehilangan kepercayaan publik dan warga lebih
memilih melakukan eigen rechting daripada menempuh jalur hukum yang cenderung
berbiaya tinggi, tetapi miskin produk keadilan dan kemanfaatan bagi semua warga
negara atas dasar equal justice under law and equal justice before the law.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar