Gengster
Berlabel Penegakan Hukum
Saharuddin Daming, KOMISINER KOMNAS HAM
Sumber : REPUBLIKA, 27 Desember 2011
Belum usai penanganan kasus pembantaian
Mesuji dan berbagai tindak kekerasan lainnya yang diduga melibatkan unsur Polri
sebagai aktor, (Sabtu 24 Des 2011) pasukan berseragam coklat ini kembali
berulah dengan tindakan represif hingga jatuh dua korban jiwa dan puluhan
luka-luka dari warga sipil di Pelabuhan Sape, Bima, NTB. Tak urung, publik dari
berbagai lapisan mengecam pedas aksi brutal Polri tersebut yang seakan tak
pernah mau belajar dari kesalahan dan tak peduli sama sekali pada citra buruk
yang disandang Polri selama ini. Lantaran selalu mengedepankan pola pendekatan
represif daripada persuasif dalam menghadapi kelompok unjuk rasa.
Tidak dapat disangkal jika Polri menurut UU N0 2 Tahun 2002 diberi tanggung
jawab untuk tugas Kamtibmas dan penegakan hukum. Namun, kita tentu tidak dapat
menerima jika Polri dalam melaksanakan tugasnya, justru melanggar hukum dan hak
asasi manusia. Masalahnya karena Protap No 1/X/2010 yang menjadi acuan bagi
Polri dalam penanggulangan anarkisme menimbulkan fobia dan trauma yang
begitu serius dari berbagai elemen masyarakat tentang rentannya arogansi
anggota Polri dalam melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM atas nama
hukum. Betapa tidak, karena dengan postur dan perilaku anggota Polri terlihat
sangat garang, bengis, dan menggunakan fasilitas persenjataan dari uang rakyat
untuk menembak secara membabi buta kepada siapa pun yang dianggap sebagai
bagian dari kelompok pengganggu Kamtibmas.
Semula pimpinan Polri sangat percaya terhadap eksistensi Protap yang dipilih
untuk mengoptimalkan tugas Polri dalam menanggulangi gangguan Kamtibmas yang
dirasakan meningkat eskalasi dan intensitasnya belakangan ini. Sayangnya,
karena mainan baru tersebut sarat dengan nuansa represif, hal ini sangat
bertolak belakang dengan wacana Polisi masyarakat (Community Police) yang
pernah digadang-gadang pimpinan Polri sebagai salah satu agenda penting dalam
reformasi Polri. Betapa tidak, karena dalam Protap tersebut terdapat ketentuan
yang memberi wewenang secara individu kepada anggota Polri untuk melakukan
tembak di tempat.
Apa pun alasannya, rumusan ketentuan seperti ini tentu sangat bertentangan
dengan Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
(International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment Of Punishment) diratifikasi Undang-Undang No 5/1998, Tanggal 28
September 1998. Protap tersebut juga tidak sejalan dengan UU No 39 Tahun
1999 tentang HAM yang diperkuat dengan kovenan hak sipil dan politik
(diratifikasi dengan UU No 12 Tahun 2005). Saya menilai bahwa usaha keras
pimpinan Polri untuk membentengi diri dengan Protap yang sangat represif
seperti itu menunjukkan bahwa pimpinan Polri justru mendorong Polri bergerak
mundur seperti pada zaman Orde Baru dulu.
Untuk menanggulangi anarkisme seharusnya kapolri meningkatkan kapasitas dan
profesionalisme anggota, antara lain, mendesain ulang format dan tata kerja
satuan Intelijen maupun Dalmas. Dengan kemampuan yang lebih maksimal dari
satuan Intelijen untuk melacak dan mendeteksi suatu keadaan, maka saya pikir
Polri selalu bisa melakukan tindakan preventif dan antisipatif secara dini
terhadap potensi anarkisme. Selanjutnya, Polri memiliki Dalmas dengan bekal
kemampuan berkomunikasi dan berbagai keterampilan adaptif yang benar-benar
terlatih. Bagaimanapun, kondisi masyarakat yang mendekati rusuh atau anarkis
sebagaimana yang terjadi di Pelabuhan Sape Bima NTB pasti dapat diredam dan
digiring ke dalam suasana yang kondusif.
Sebenarnya, publik sangat mendambakan model pendekatan persuasif selalu hadir
dalam setiap pelaksanaan tugas Polri. Sebab, dengan pola pendekatan represif,
mengandung risiko untuk disalahgunakan oleh oknum anggota Polri. Ini sangat
berbahaya karena dalam kajian psiko-kriminologi menyebutkan bahwa seseorang
yang memegang senjata, apalagi senjata api, selalu ada keinginan untuk
melakukan eksperimentasi. Sehingga, yang timbul dalam benaknya adalah bagaimana
dan kapan bisa senjata itu digunakan, kalau perlu momen diciptakan demi
memenuhi syahwat pemegangnya untuk beraksi.
Saya tidak bisa membayangkan jika polisi dibekali senjata api dengan kewenangan
penuh untuk tembak di tempat, akan sulit mengatakan tidak untuk menarik pelatuk
senjatanya ketika berhadapan dengan keadaan yang menurut penilaiannya sesuai
dengan Protap. Keadaan inilah yang kerap memicu terjadinya shooting error dan
peluru nyasar oleh petugas Polri karena soal disiplin dan profesionalisme sebagian
anggota Polri saat ini sangat rendah. Jangankan prajurit yang berpangkat
tamtama atau bintara, oknum Polri yang berpangkat perwira, bahkan pada level
bintang sekali pun yang telah kenyang makan asam garam dinas kepolisian,
seperti Komjen Pol (Purn) SY, dapat dengan mudah memuntahkan peluru dari
pistolnya walau semula hanya sekadar menakut-nakuti warga.
Tak hanya itu keadaannya. Dari hal tersebut terbuka peluang bagi oknum Polri
menyalahgunakan senjata dan kewenangannya untuk tujuan kriminal sebagaimana
yang banyak terungkap pada sejumlah aksi perampokan, pencurian pengeroyokan,
dan lain-lain. Dalam konflik lahan yang menghadapkan warga dengan otoritas
perkebunan atau kehutanan yang berujung pada kasus penembakan warga sipil,
ternyata diduga keras melibatkan oknum Polri.
Selain itu, suatu kelompok massa yang menggelar aksi unjuk rasa damai yang
kebetulan berseberangan dengan kepentingan penguasa, dapat di-setting dengan
skenario sedemikian rupa, antara lain, provokasi dari pihak tertentu atau
mungkin dari oknum polisi sendiri sehingga kelompok massa tergiring ke lembah
anarkisme sesuai dengan skenario yang disusun oleh provokator. Dengan modal
ini, polisi berdasarkan Protap sudah dapat melakukan tembak di tempat terhadap
kelompok massa.
Sampai di sini, Polri kembali menjadi instrumen penekan elite penguasa untuk
membungkam lawan politiknya maupun daya kritis masyarakat melalui aksi unjuk
rasa. Apalagi, dalam Protap tersebut batasan tentang anarkisme sangat kabur
sehingga berpeluang untuk menimbulkan multitafsir. Celakanya, pihak yang boleh
menafsirkan Protap itu adalah Polri sendiri.
Dengan hadirnya Protap yang melegitimasi tindakan tembak di tempat, berarti
pimpinan Polri menciptakan lembaga imunitas bagi anggotanya untuk menjadi
gengster dalam fungsi Kamtibmas. Saya menilai, Protap seperti ini akan
mereinkarnasi kebijakan Petrus yang pernah diterapkan pada zaman Orde Baru
terhadap siapa pun yang dicap sebagai residivis. Dengan demikian, Polri berada
pada posisi ambigu yang secara konstitusional menjadi alat negara untuk
melindungi rakyat, namun faktanya justru menjadi instrumen kezaliman rakyat.
Semua biaya untuk membeli senjata dan pelurunya, juga membayar gaji anggota
Polri, seluruhnya berasal dari uang rakyat. Dan, ternyata justru itu semua
digunakan untuk tindakan represif kepada rakyat.
Reformasi Polri tampaknya bukan obat mujarab untuk mengobati penyakit yang
melilit satuan bayangkara ini. Rupanya kita perlu revolusi dengan merombak UU
No 2 Tahun 2002 maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang mendudukkan
organisasi Polri tidak lagi bersifat nasional, tetapi menjadi unit pemerintah
daerah demi memudahkan elemen masyarakat lokal melakukan kontrol. Paling tidak,
tugas Reskrim yang selama ini menjadi core business Polri dilepaskan menjadi
badan yang bersifat netral dan mandiri sebagaimana FBI di Amerika Serikat,
Australia, dan di beberapa negara lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar