Sabtu, 31 Maret 2018

Hukum dalam Blokade Politik

Hukum dalam Blokade Politik


Saharuddin Daming ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor, Mantan Komisioner Komnas HAM 

REPUBLIKA, 17 Februari 2015



Meski reformasi telah bergulir lebih dari 16 tahun, tapi cita-cita untuk menjadikan hukum sebagai panglima tampak semakin mengalami pembiasan menjadi alat komoditas politik. Tengoklah proses pengisian jabatan kapolri yang kini menjadi bola liar di ruang publik. Pemegang otoritas yang harusnya menghadirkan sosok kapolri yang benar–benar bersih, visioner, kapabel, akuntabel, dan berintegritas tinggi, justru mempromosikan Komjen Budi Gunawan (BG) yang terindikasi korupsi.

Kita tak habis pikir pengaruh dan keistimewaan yang melekat pada Komjen BG sehingga pemegang otoritas tak menggubris status tersangka yang disematkan KPK kepada Komjen BG. Tidak salah jika Transparansi Internasional maupun berbagai pihak telah menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ketiga di dunia.

Semula kita berharap para anggota Komisi III DPR kelak menolak pencalonan Komjen BG sebagai kapolri dalam fit and proper test. Rupanya seluruh fraksi di Komisi III DPR malah solid menyematkan sanjungan kepada Komjen BG. Hebatnya lagi karena Sidang Paripurna DPR tertanggal 15 Januari 2015 mengukuhkan Komjen BG sebagai kapolri.

Hal ini sungguh berbanding terbalik dengan model pemerintahan SBY yang mempersyaratkan rekrutmen pejabat publik harus bebas dari perbuatan tercela. Tidak mengherankan jika dalam masa pemerintahan SBY, tiga menterinya, yaitu AA Mallarangeng, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik, langsung menyatakan mundur dari jabatannya pascaditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Sayangnya, tradisi konstruktif tersebut sama sekali asing bagi Komjen BG. Padahal, sebagai penegak hukum, yang menjunjung tinggi etika kebangsaan (TAP MPR No VI/2001), harusnya malu dan menolak pencalonan dirinya. Sebagai bagian dari warga negara, tetap harus taat hukum karena tidak ada orang yang kebal hukum.

Karena didasari oleh dukungan luas yang berselimutkan ambisi besar, Komjen BG justru mengabaikan penetapan dirinya sebagai tersangka. Dengan mengajukan praperadilan dan pranata Korsa demi memperoleh simpati dari para koleganya di jajaran Bhayangkara. Politik pembenturan antara KPK dan Polri agar terulang kembali kisah cicak melawan buaya. Celakanya lagi karena segelintir akademisi malah ikut memprovokasi dengan fatwa agar Presiden Jokowi tidak perlu mendengar bisikan dari Tim 9 dan tetap melantik Komjen BG sebagai kapolri tanpa peduli dengan tekanan KPK dan publik. Sikap akademisi seperti ini sungguh jauh dari karakteristik ilmuwan sejati yang pantang menebarkan paham kesesatan.

Kerancuan lain juga tampak dari hasil validasi yang dirilis Mabes Polri, tidak digubris oleh KPK. Anehnya karena sebagian besar politisi kita saat ini justru lebih mempercayai hasil verfifikasi Bareskrim Polri atas transaksi yang dianggap wajar dalam rekening gendut milik Komjen BG. Mereka sengaja lupa reputasi dan prestasi KPK dalam mengungkap skandal korupsi yang melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri, seperti Komjen Suyitno Landung, Brigjen Samuel Ismoko, dan Irjen Joko Susilo. Semua tuduhan KPK yang dialamatkan kepada mereka akhirnya terbukti benar walaupun dibantah pada awalnya.

Parahnya karena semua delik yang diungkap oleh KPK tersebut terjadi ketika mereka masih duduk sebagai pejabat aktif di lingkungan Polri. Jika investigasi Polri memang objektif dan terpercaya untuk jajaran internal, maka skandal ketiga pati Polri di atas tidak perlu terjadi karena selalu dapat terdeteksi oleh sistem investigasi Polri. Sayang, semua itu hanyalah klaim sepihak yang sangat tajam jika menyangkut kepentingan eksternal Polri, tetapi menjadi tumpul jika menyangkut kepentingan internalnya.

Andai perkara itu diserahkan kepada Polri, maka sangat boleh jadi perkara tersebut mengalami nasib seperti perkara Komjen BG. Bareskrim Polri merilis hasil investigasi dengan tekanan: clear. Padahal, dalam investigasi KPK yang dibantu PPATK justru menyimpulkan hal sebaliknya. Ini bukti bahwa kualitas clear yang menjadi produk Bareskrim Polri ternyata jauh tertinggal daripada kualitas hasil investigasi yang dilakukan KPK.

Ironisnya karena sekalipun Komnas HAM telah merilis hasil investigasinya bahwa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK oleh Polri merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (eksesif use force), tapi Bareskrim Polri tak bergeming sedikit pun, bahkan DPR seolah-olah ingin mendelegitimasi status tersangka yang disematkan KPK terhadap Komjen BG. Asas praduga tak bersalah pun digunakan sebagai tameng untuk menjustifikasi keabsahan sang Komjen sebagai calon kapolri. Due process of law tiba-tiba nyaring disuarakan untuk mengandaskan ketegasan KPK yang dianggap menyalahi prinsip negara hukum.

Kontrasnya karena hanya KPK yang selalu dituding menyalahi doktrin tersebut dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Padahal, institusi Polri melalui Densus 88 justru lebih banyak menginjak–injak prinsip due process of law. Sudah bukan rahasia lagi bagi kita bahwa setiap Densus 88 dalam melakukan operasi penangkapan kepada siapa pun yang disinyalir sebagai teroris hingga berujung pada penghilangan nyawa hanya didasarkan pada data intelijen. Meski demikian, tak ada satu pun herois gadungan di Senayan yang berani mengatakan bahwa tindakan Densus 88 itu melanggar asas praduga tak bersalah maupun due process of law.

Tragisnya karena sekalipun KPK dalam menetapkan status tersangka kepada seseorang atas dasar alat bukti yang sah dan memadai menurut hukum, tetap saja ada reaksi dari Senayan yang mempersoalkannya. Jika tekanan mereka tak digubris, mereka pun kontan bersuara sumbang untuk merevisi atau membubarkan KPK. Di sinilah kita dapat membuktikan betapa rentannya hukum dikambinghitamkan oleh politik yang dikendalikan atas dasar kepentingan.

Untuk memutus mata rantai epos cicak verus buaya, maka presiden dalam memilih calon kapolri haruslah figur yang benar-benar berjiwa reformis, komitmen membersihkan Polri dari jaringan rekening gendut serta mendukung pemberantasan korupsi tanpa konfrontasi dengan KPK. Ini adalah solusi jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang, Bareskrim dan KPK harus dilebur menjadi satu di bawah lembaga investigasi negara atau nama lain.

Itu berarti KPK harus bubar seiring dengan keluarnya Bareskrim dari Polri. Jadi, tupoksi Polri cukup dalam bidang kamtibmas. Sistem kepemimpinan dan rekrutmen lembaga baru tersebut meniru model kepemimpinan KPK sekarang. Formasi penegakan hukum seperti ini jauh lebih efektif dan efisien serta menafikan terjadinya friksi. Wacana ini ditentukan oleh political will presiden dan DPR untuk mengganti UU No 2/2002 tentang Polri jo UU No 30/2002 tentang KPK

Holocaust Rohingya Sepi Pembela

Holocaust Rohingya Sepi Pembela

Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM 
SINDO, 06 Agustus 2012


Jika umat Islam sejagat berpacu merebut keberkahan Ramadan dengan penuh kegembiraan dan ketenangan, muslim Rohingya di Myanmar justru berpuasa dengan penindasan dan kezaliman.

Semula hal itu dilakukan oleh etnis mayoritas Buddha Rakhine yang menebar kebencian terhadap Rohingya yang dianggap sebagai orang asing. Parahnya karena provokasi kebencian berlatar belakang etnis tersebut, menyelinap masuk ke dalam tubuh ideologi pemangku negara di Myanmar. Secara sosio-historis, Rohingya adalah etnis yang kebanyakan beragama Islam di negara bagian Rakhine Utara di Myanmar Barat.

Mereka terkonsentrasi di dua kota utara negara bagian Rakhine (sebelumnya disebut Arakan). Populasi mereka 4% (1,7 juta jiwa) dari total penduduk, 42,7 juta jiwa. Catatan pada dokumen Images Asia ‘’Report On The Situasion For Muslim In Burma” pada Mei 1997 menyebutkan bahwa umat muslim di Myanmar mendekati 7 juta jiwa. Jumlah itu menurun drastis akibat pembantaian maupun eksodus ke wilayah lain. Ketika meletus kerusuhan akhir Mei 2012, terjadi penindasan di kalangan etnis Rohingya. Pada 10 Juni pemerintah mengumumkan keadaan darurat di sertai pengerahan pasukan militer untuk memadamkan kerusuhan.

Namun, operasi militer tersebut berlangsung tidak netral. Mereka memihak etnis mayoritas dalam bentuk pembiaran etnis Rohingya dibantai dengan cara yang sangat mengenaskan. Selama kerusuhan berlangsung hingga 28 Juni 2012, 650 muslim Rohingya tewas, 1.200 lainnya hilang, dan 90.000 orang telah telantar, ribuan rumah mereka dijarah, dibakar, atau dihancurkan, serta80.000orang mengungsi di sekitar Kota Sittwe dan Maungdaw. Hampir semua hak dasar mereka dirampas termasuk pendidikan dan pekerjaan.

Pemerintah Myanmar membatasi gerak mereka dan tidak memberi hak atas tanah dan layanan publik. Jauh sebelum konflik 2012, sebenarnya etnis Rohingya telah mengalami holocaust selama puluhan tahun, baik oleh negara maupun etnis mayoritas di Myanmar, yang kebetulan beragama Buddha. Sejak sebelum Burma merdeka pada 1942, sudah ada aksi kekerasan kepada Rohingya. Mereka mengalami kekerasan dan diskriminasi oleh negara maupun etnis mayoritas karena dianggap bukan bagian dari Burma akibat mereka beragama Islam. Holocaust tersebut terus berlanjut hingga Burma merdeka.

Melalui operasi militer yang paling sadis adalah Na Sa Ka telah melegalkan kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan bagi kaum Rohingya. Dalam hal ini, Islamofobia memang sangat kental dalam operasi tersebut. Mereka yang beragama Buddha justru mendapat perlindungan dan dukungan meski ia adalah etnis Rohingya. Pada 1978 dan 1991, militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan.

Operasi tersebut memicu eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di Myanmar memprovokasi terjadi pergolakan anti-Islam di Taunggyi dan Prome. Burma Digest juga mencatat, pada 2005 telah muncul perintah bahwa anak-anak muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan), tidak boleh mendapatkan akta kelahiran. Akibatnya, banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir.

National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam. Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka. Pemerintah Myanmar bahkan sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan masyarakat yang beragama Buddha sebagai penguasa. Umat muslim dijadikan warga negara kelas tiga sehingga mengalami diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan.

Mereka yang tidak mengganti agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai. Ditilik dari aspek apa pun, kebijakan negara yang menolak eksistensi kehidupan kelompok manusia atas dasar etnik, ras, dan agama, selain bertentangan dengan Konvensi 1954 tentang Status Orang Tak Berkewarganegaraan Jo Konvensi 1961 mengenai Pengurangan Keadaan Tak Berkewarganegaraan, juga menyimpang dari Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 1948.

Dalam Pasal 13 dan 15 DUHAM antara lain menegaskan: “Setiap orang tanpa pengecualian berhak tinggal,bergerak, serta berhak atas sesuatu kewarganegaraan, dan tidak seorang pun dapat dicabut kewarganegaraannya dengan semena- mena”. Tak hanya itu, kebencian penguasa dan kelompok mayoritas terhadap kaum muslim Rohingya juga merupakan pelanggaran nyata Pasal 18 DUHAM jo Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Konferensi Dunia di Durban 2001 tentang Melawan Rasisme, Xenopobhia dan Intoleransi.

Jika diperhatikan rangkaian kejadian seperti dikemukakan di atas, sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa kaum Rohingya telah menjadi korban holocaust ala Myanmar dalam bentuk state violence, di mana negara melakukan genosida, ethnic cleansing (pembantaian etnis), maupun kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana tertuang dalam Statuta Roma pada 1998 tentang International Criminal Court (ICC). Pelanggaran HAM berat dimaksud terarah pada dua kemungkinan, baik kumulatif maupun alternatif yaitu genosida dan kejahatan kemanusiaan.

Betapa tidak karena semua fakta yang dikemukakan di atas cocok dengan rumusan delik yang menjadi yurisdiksi ICC tentang genosida dan kejahatan kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma. Ironisnya, karena meski bukti holocaust terpampang di pelupuk mata, PBB yang direpresentasikan oleh Dewan Keamanan dan Dewan HAM lebih peduli pada tragedi Batman di Colorado daripada penderitaan Rohingya di Myanmar.

Amerika Serikat yang selama ini memusuhi junta militer Myanmar justru sibuk mendiskusikan kepentingan bisnis kedua negara sebagaimana tampak pada kunjungan Hillary Clincton baru-baru ini di Myanmar tanpa sedikit pun menyinggung tragedi holocaust di negeri pagoda itu. Herannya karena ASEAN yang telah melahirkan deklarasi HAM ASEAN juga bungkam seribu bahasa demi memelihara solidaritas kawasan dan membiarkan pelanggaran HAM serius berlangsung di wilayahnya.

Penerima hadiah nobel perdamaian sekelas Aung San Suu Kyi juga membisu atas holocaust yang terjadi di negaranya. Hebatnya lagi, karena aktivis HAM yang selama ini sangat lantang meneriakkan kebebasan beragama di Indonesia seperti Wahid Institut, Setara Institute, Human Rights Working Group, dan jaringannya, semuanya tiarap tanpa nyali. Mungkin karena pihak yang menjadi korban holocaust tak berkoneksi dengan kepentingan Barat.

Jumat, 30 Maret 2018

Hak Asasi Manusia dan Korupsi


Hak Asasi Manusia dan Korupsi
Saharuddin Daming
Dosen Universitas Ibnu Khaldun


Dalam entitas tertentu, Desember merupakan momen yang bertabur kebahagiaan. Tapi, bagi entitas lain, pengujung bulan itu mungkin penuh dengan ketidaknyamanan sebagaimana yang dilukiskan Maharani Kahar, penyanyi asal Surabaya yang populer di era 1980-an dengan lagu berjudul Desember Kelabu. Bisa jadi kedua situasi paradoks tersebut mewakili prestasi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia di sepanjang 2013.
Ironisnya, geliat publik dalam memperingati hari hak asasi manusia universal sering kalah meriah dengan kegemerlapan peringatan hari-hari bersejarah internasional lainnya. Lebih ironis lagi ketika kita menengok prestasi penegak an hukum di sepanjang tahun ini atas isu itu. Tak ada yang dapat memungkiri kenyataan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum selama ini baru mampu menyentuh sisi permukaannya saja. Sedangkan korupsi yang terpendam di bawahnya, dengan jumlah yang jauh lebih besar, seluruhnya aman terkendali dan jauh dari jangkauan pedang penegak hukum.
Ditinjau dari aspek risiko, korupsi dalam segala bentuknya, tentu menimbulkan akibat pelanggaran HAM tingkat tinggi. Ketika negara meratifikasi International Covenant on Economic and Social Culture Rights dengan UU Nomor 11 Tahun 2005 ataupun terhadap International Covenant on Civil and Political Right dengan UU Nomor 12 Tahun 2005, sejak itu negara bersama seluruh aparaturnya berkedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Dalam konteks ini negara sekurang-kurangnya dilekati tiga kewajiban, yaitu kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), kewajiban melindungi (obligation to protect), dan kewajiban memenuhi (obligation to fulfill) hak setiap warga negara. 
Berkaca dari fenomena kesulitan sebagian warga dalam melangsungkan hidup secara layak dewasa ini, jelas merupakan bukti terjadinya pelanggaran HAM yang sangat serius oleh negara. Celakanya, sebagian besar kegagalan negara dalam mewujudkan kewajibannya tersebut disebabkan oleh korupsi yang begitu sistematis dan meluas pada seluruh struktur penyelenggara negara. Dari jajaran eksekutif hingga legislatif, bahkan yudikatif sebagai penegak hukum, semuanya tak ada yang steril dari terjangan dan kontaminasi virus korupsi.
Sudah bukan rahasia lagi dalam pengetahuan publik bahwa banyak oknum penegak hukum terlibat bahkan menjadi dalang mafia peradilan. Maraknya transaksi keadilan di balik meja hijau bukan saja karena faktor dekadensi moral, tapi juga lantaran faktor hukum sendiri. Karena pada Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009, antara lain, diatur bahwa dalam memutus perkara pidana diserahkan sepenuhnya kepada keyakinan hukum para hakim (beyond reasonable doubt). Selanjutnya, dalam Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan kompetensi peradilan.
Dengan otoritas hakim seluas ini, ia leluasa untuk membebaskan atau meringankan hukuman seorang koruptor atas dasar kemerdekaan dan keyakinan hakim, meski putusan itu menimbulkan keresahan publik. Kecenderungan hakim memihak koruptor tentulah karena pengaruh kekuatan fulus. Ini semua bukan saja menjungkirbalikkan hukum dan keadilan, tapi juga sekaligus bentuk pelanggaran HAM, khususnya mengenai jaminan peradilan yang obyektif, jujur, dan tidak memihak sebagaimana diatur dalam Pasal 10 deklarasi Universal HAM jo Pasal 14 ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. 
Dengan konfigurasi peradilan seperti itu, banyak sekali perkara korupsi yang seharusnya dihukum berat ternyata justru diputus bebas atau diringankan hukumannya oleh hakim dengan bermodalkan keyakinan dan kemerdekaan yang melekat padanya. Realitas ini sejalan dengan pandangan Hugo Black (hakim agung AS): "Takkan ada keadilan sejati jika peradilan bergantung pada uang."
Tak pelak lagi, rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan menjadi subyek penikmatan kekayaan negara, sebagian besar kini hanya puas mencicipi tetesan kecil dari kebijakan semu dan apologi oleh pemangku negara. Padahal potensi kekayaan alam dan penghasilan dari sektor pajak sudah lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyat. Namun etalase pemberitaan media seringkali menampilkan sosok yang sangat memiriskan hati lantaran didera kemiskinan tanpa sensitivitas pemangku negara untuk membantunya. Herannya, sebagian besar bantuan spontan untuk masyarakat miskin justru diprakarsai oleh lembaga media yang menghimpun sumbangan para pemirsa.
Ke manakah peran dan fungsi serta tanggung jawab negara sebagai duty bearer? Sebagian kalangan memang telah lama memvonis negara absen atas peran, fungsi, dan tanggung jawabnya itu. Dalam konteks ini, tepat sekali tesis cerdas dari Peter Dracker dengan kesimpulan bahwa sebenarnya di dunia ini tidak ada negara terbelakang, tapi yang ada hanyalah negara yang salah urus.


Grasi, Perspektif Hukum versus Keadilan


Grasi, Perspektif Hukum versus Keadilan

Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2012

Belum tuntas isu tentang pembatasan bahan bakar minyak (BBM) dan pemberantasan korupsi yang melibatkan kalangan elite, kini wacana publik kembali terusik oleh kontroversi pemberian grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Schapelle Leigh Corby.
Grasi tersebut diberikan dalam bentuk pengurangan hukuman lima tahun dari vonis 20 tahun oleh PN Denpasar tertanggal 27 Mei 2005 setelah warga negara Australia tersebut kedapatan membawa mariyuana sebanyak 4,2 kg dalam tasnya pada 8 Oktober 2004 di Bandara Ngurah Rai, Denpasar.
Namun, dalam putusan banding pada 12 Oktober 2005 Corby hanya divonis 15 tahun. Akan tetapi, vonis tersebut kembali menjadi 20 tahun melalui putusan kasasi tertanggal 12 Januari 2006 yang membenarkan Corby melanggar Pasal 82 ayat 1a UU No 22/1997 tentang Narkotika. Selama proses persidangan hingga menjalani hukuman, Corby memang sangat agresif melakukan tentangan. Melalui hasil diagnosis Dr Denny Thong (psikiater di Denpasar) tertanggal 26 Mei 2009, Corby dinyatakan menderita depresi berat dengan gejala psikosis.
Berdasarkan hal tersebut, Corby mengajukan grasi dan akhirnya dikabulkan melalui Keppres No 22/G Tahun 2012 tertanggal 15 Mei 2012. Alhasil niat baik Presiden yang tergali melalui pertimbangan MA dan berbagai pihak lainnya kontan memicu percikan badai kritik bertubi-tubi ke arah istana. Selain ancaman gugatan hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh berbagai elemen masyarakat, keppres tersebut juga berisiko menghadapi tekanan politik dalam bentuk penggunaan hak interpelasi oleh DPR.
Grasi Presiden dengan pengurangan lima tahun penjara kepada Corby dinilai banyak kalangan telah mencederai komitmen Presiden sendiri yang menyatakan perang terhadap segala bentuk penyalahgunaan narkoba. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pemerintah melalui Menkum dan HAM mengeluarkan kebijakan moratorium atau pengetatan remisi bagi terpidana extraordinary crime. Demikian pula sikap nonkompromi terhadap kejahatan narkoba sebagaimana yang ditunjukkan Wamenkum dan HAM Denny Indrayana saat menyupervisi BNN dalam menggerebek bandar narkoba di Rutan Pekanbaru Riau yang berujung dengan pemukulan terhadap seorang sipir.
Ironisnya, saat Presiden memberikan grasi kepada Corby, terkuak rentetan penangkapan pengedar narkoba di berbagai tempat. Peperangan melawan kejahatan narkoba berpuncak pada terungkapnya kasus penyelundupan ekstasi besar-besaran dari Shenzen, China, yang melibatkan oknum TNI. Melalui Operasi Komodo (28/5), Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama Polri berhasil mengungkap barang haram tersebut sebesar 1.412.476 butir atau 3.784.358 gram. BNN bahkan kembali sukses menggulung bandar narkoba di Jakarta dengan barang bukti sabu-sabu seberat 150 kg (pada 6/6).
Kenyataan itu makin membuyarkan kepercayaan publik terhadap tekad pemerintah yang telah melahirkan UU No 7/1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances), setelah lahirnya UU No 5/1997 tentang Psikotropika dan UU No 22/1997 tentang Narkotika yang kemudian diubah dengan UU No 35/2009. Sebelumnya pemerintah dan DPR melahirkan UU No 8/1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan UU No 8/1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971).
Bersikap Ambigu
Namun, pemberian grasi kepada pelaku penyalahgunaan narkoba seperti Corby tidak saja menunjukkan sikap paradoks dan ambigu pemerintah terhadap perang melawan kejahatan narkoba. Grasi tersebut juga mengindikasikan adanya agenda tersembunyi antara pemerintah RI dan Australia. Tak hanya itu, imbal beli perkara melalui pemberian grasi kepada Corby berpotensi merusak sistem dan semangat jajaran penegak hukum seba gai garda ter depan dalam memerangi penyalahgunaan narkoba melalui law enforcement.
Tak ayal lagi, pemberian grasi tersebut kini menjadi objek kajian dan diskusi secara intensif dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam perspektif hukum, Presiden memang berwenang untuk memberikan grasi sebagaimana mandat Pasal 14 (1) UUD 1945. Namun dalam pemberian grasi dimaksud, Presiden tentu tidak boleh meng halalkan segala cara, tetapi perlu mempertimbangkan berbagai hal, antara lain seberapa jauh pemberian grasi tersebut berdampak pada pencederaan terhadap rasa keadilan masyarakat dan pene gakan norma hak a sasi manusia (HAM). Sebagai sebuah pranata hukum, grasi muncul sebagai bagian dari ide negara hukum (the rule of l law) yang berbasis pada tiga ciri, yaitu supremacy of law; equality before the law; and due process of law.
Ketika due process of law dijalankan kekuasaan yudikatif secara subjektif, lahirlah putusan sewenang-wenang yang bertentangan dengan prinsip equality before the law. Ketika itu, kepala negara berwenang mengubah putusan yudikatif dengan tetap mengacu ke supremacy of law.
Banyak Pertimbangan
Logika penalaran relasi komponen rule of law tersebut berakar pada risiko vonis yang dijatuhkan hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Selain itu, ada kemungkinan terjadi kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya dan lainlain. Selebihnya masuk ranah pertimbangan kemanusiaan politik dan lain-lain.
Karena itu, grasi merupakan salah satu lembaga yang berfungsi untuk mengoreksi dan mengatasi risiko tersebut. Jadi, grasi ditempatkan di luar lingkup peradilan pidana. Meskipun grasi merupakan kewenangan Presiden yang berada dalam lingkup hukum tata negara, hukum pidana juga memandang keberadaan grasi sebagai upaya terpidana untuk menghindarkan diri dari eksekusi putusan.
Dalam ilmu hukum, sebagian yuris menempatkan grasi terkemas dalam hierarki tatanan hukum sebagai discretionary yang berbentuk prerogatif presiden. Namun, sebagian lainnya menolak pendapat tersebut karena prerogatif secara historis selalu lekat dengan sifat absolut sebagaimana yang dipraktikkan pada masa kerajaan dengan kekuasaan absolut. Lembaga pemberian grasi dalam negara demokrasi modern saat ini, tidak terkecuali Indonesia, hampir tidak ada lagi yang disandarkan pada otoritas absolut, tetapi bersumber dari otoritas konstitusi.
Grasi sebenarnya bukan upaya hukum, melainkan melekat pada kewenangan kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada siapa pun yang telah dipidana pengadilan. Dalam hal ini, grasi diberikan Presiden selaku kepala negara bukan sebagai kepala pemerintahan (eksekutif). Kewenangan tersebut merupakan hak konstitusional presiden berdasarkan Pasal 14 (1) UUD 1945 dan UU No 22/2002 jo UU No 5/2010. Dengan demikian, grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait pula dengan penilaian terhadap putusan hakim, melainkan lebih banyak bersandar pada pertimbangan moral, HAM, dan lain-lain.
Dalam konteks due process of law, pemberian grasi bukan merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan kewenangan konstitusional presiden sebagai kepala negara. Meski grasi dapat mengubah putusan pengadilan dalam bentuk meringankan, mengurangi atau menghapus kewajiban menjalani pidana, bukan berarti grasi menghilangkan kesalahan atau rehabilitasi terhadap terpidana.

Gengster Berlabel Penegakan Hukum

Gengster Berlabel Penegakan Hukum
Saharuddin Daming, KOMISINER KOMNAS HAM
Sumber : REPUBLIKA, 27 Desember 2011



Belum usai penanganan kasus pembantaian Mesuji dan berbagai tindak kekerasan lainnya yang diduga melibatkan unsur Polri sebagai aktor, (Sabtu 24 Des 2011) pasukan berseragam coklat ini kembali berulah dengan tindakan represif hingga jatuh dua korban jiwa dan puluhan luka-luka dari warga sipil di Pelabuhan Sape, Bima, NTB. Tak urung, publik dari berbagai lapisan mengecam pedas aksi brutal Polri tersebut yang seakan tak pernah mau belajar dari kesalahan dan tak peduli sama sekali pada citra buruk yang disandang Polri selama ini. Lantaran selalu mengedepankan pola pendekatan represif daripada persuasif dalam menghadapi kelompok unjuk rasa.


Tidak dapat disangkal jika Polri menurut UU N0 2 Tahun 2002 diberi tanggung jawab untuk tugas Kamtibmas dan penegakan hukum. Namun, kita tentu tidak dapat menerima jika Polri dalam melaksanakan tugasnya, justru melanggar hukum dan hak asasi manusia. Masalahnya karena Protap No 1/X/2010 yang menjadi acuan bagi Polri dalam  penanggulangan anarkisme menimbulkan fobia dan trauma yang begitu serius dari berbagai elemen masyarakat tentang rentannya arogansi anggota Polri dalam melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM atas nama hukum. Betapa tidak, karena dengan postur dan perilaku anggota Polri terlihat sangat garang, bengis, dan menggunakan fasilitas persenjataan dari uang rakyat untuk menembak secara membabi buta kepada siapa pun yang dianggap sebagai bagian dari kelompok pengganggu Kamtibmas.

Semula pimpinan Polri sangat percaya terhadap eksistensi Protap yang dipilih untuk mengoptimalkan tugas Polri dalam menanggulangi gangguan Kamtibmas yang dirasakan meningkat eskalasi dan intensitasnya belakangan ini. Sayangnya, karena mainan baru tersebut sarat dengan nuansa represif, hal ini sangat bertolak belakang dengan wacana Polisi masyarakat (Community Police) yang pernah digadang-gadang pimpinan Polri sebagai salah satu agenda penting dalam reformasi Polri. Betapa tidak, karena dalam Protap tersebut terdapat ketentuan yang memberi wewenang secara individu kepada anggota Polri untuk melakukan tembak di tempat. 

Apa pun alasannya, rumusan ketentuan seperti ini tentu sangat bertentangan dengan Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment Of Punishment) diratifikasi Undang-Undang No 5/1998, Tanggal 28 September 1998. Protap tersebut juga tidak sejalan dengan  UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang diperkuat dengan kovenan hak sipil dan politik (diratifikasi dengan UU No 12 Tahun 2005). Saya menilai bahwa usaha keras pimpinan Polri untuk membentengi diri dengan Protap yang sangat represif seperti itu menunjukkan bahwa pimpinan Polri justru mendorong Polri bergerak mundur seperti pada zaman Orde Baru dulu.

Untuk menanggulangi anarkisme seharusnya kapolri meningkatkan kapasitas dan profesionalisme anggota, antara lain, mendesain ulang format dan tata kerja satuan Intelijen maupun Dalmas. Dengan kemampuan yang lebih maksimal dari satuan Intelijen untuk melacak dan mendeteksi suatu keadaan, maka saya pikir Polri selalu bisa melakukan tindakan preventif dan antisipatif secara dini terhadap potensi anarkisme. Selanjutnya, Polri memiliki Dalmas dengan bekal kemampuan berkomunikasi dan berbagai keterampilan adaptif yang benar-benar terlatih. Bagaimanapun, kondisi masyarakat yang mendekati rusuh atau anarkis sebagaimana yang terjadi di Pelabuhan Sape Bima NTB pasti dapat diredam dan digiring ke dalam suasana yang kondusif. 

Sebenarnya, publik sangat mendambakan model pendekatan persuasif selalu hadir dalam setiap pelaksanaan tugas Polri. Sebab, dengan pola pendekatan represif, mengandung risiko untuk disalahgunakan oleh oknum anggota Polri. Ini sangat berbahaya karena dalam kajian psiko-kriminologi menyebutkan bahwa seseorang yang memegang senjata, apalagi senjata api, selalu ada keinginan untuk melakukan eksperimentasi. Sehingga, yang timbul dalam benaknya adalah bagaimana dan kapan bisa senjata itu digunakan, kalau perlu momen diciptakan demi memenuhi syahwat pemegangnya untuk beraksi.

Saya tidak bisa membayangkan jika polisi dibekali senjata api dengan kewenangan penuh untuk tembak di tempat, akan sulit mengatakan tidak untuk menarik pelatuk senjatanya ketika berhadapan dengan keadaan yang menurut penilaiannya sesuai dengan Protap. Keadaan inilah yang kerap memicu terjadinya shooting error dan peluru nyasar oleh petugas Polri karena soal disiplin dan profesionalisme sebagian anggota Polri saat ini sangat rendah. Jangankan prajurit yang berpangkat tamtama atau bintara, oknum Polri yang berpangkat perwira, bahkan pada level bintang sekali pun yang telah kenyang makan asam garam dinas kepolisian, seperti Komjen Pol (Purn) SY, dapat dengan mudah memuntahkan peluru dari pistolnya walau semula hanya sekadar menakut-nakuti warga. 

Tak hanya itu keadaannya. Dari hal tersebut terbuka peluang bagi oknum Polri menyalahgunakan senjata dan kewenangannya untuk tujuan kriminal sebagaimana yang banyak terungkap pada sejumlah aksi perampokan, pencurian pengeroyokan, dan lain-lain. Dalam konflik lahan yang menghadapkan warga dengan otoritas perkebunan atau kehutanan yang berujung pada kasus penembakan warga sipil, ternyata diduga keras melibatkan oknum Polri.

Selain itu, suatu kelompok massa yang menggelar aksi unjuk rasa damai yang kebetulan berseberangan dengan kepentingan penguasa, dapat di-setting dengan skenario sedemikian rupa, antara lain, provokasi dari pihak tertentu atau mungkin dari oknum polisi sendiri sehingga kelompok massa tergiring ke lembah anarkisme sesuai dengan skenario yang disusun oleh provokator. Dengan modal ini, polisi berdasarkan Protap sudah dapat melakukan tembak di tempat terhadap kelompok massa.

Sampai di sini, Polri kembali menjadi instrumen penekan elite penguasa untuk membungkam lawan politiknya maupun daya kritis masyarakat melalui aksi unjuk rasa. Apalagi, dalam Protap tersebut batasan tentang anarkisme sangat kabur sehingga berpeluang untuk menimbulkan multitafsir. Celakanya, pihak yang boleh menafsirkan Protap itu adalah Polri sendiri.

Dengan hadirnya Protap yang melegitimasi tindakan tembak di tempat, berarti pimpinan Polri menciptakan lembaga imunitas bagi anggotanya untuk menjadi gengster dalam fungsi Kamtibmas. Saya menilai, Protap seperti ini akan mereinkarnasi kebijakan Petrus yang pernah diterapkan pada zaman Orde Baru terhadap siapa pun yang dicap sebagai residivis. Dengan demikian, Polri berada pada posisi ambigu yang secara konstitusional menjadi alat negara untuk melindungi rakyat, namun faktanya justru menjadi instrumen kezaliman rakyat. Semua biaya untuk membeli senjata dan pelurunya, juga membayar gaji anggota Polri, seluruhnya berasal dari uang rakyat. Dan, ternyata justru itu semua digunakan untuk tindakan represif kepada rakyat.

Reformasi Polri tampaknya bukan obat mujarab untuk mengobati penyakit yang melilit satuan bayangkara ini. Rupanya kita perlu revolusi dengan merombak UU No 2 Tahun 2002 maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang mendudukkan organisasi Polri tidak lagi bersifat nasional, tetapi menjadi unit pemerintah daerah demi memudahkan elemen masyarakat lokal melakukan kontrol. Paling tidak, tugas Reskrim yang selama ini menjadi core business Polri dilepaskan menjadi badan yang bersifat netral dan mandiri sebagaimana FBI di Amerika Serikat, Australia, dan di beberapa negara lainnya.

Esensi Puasa dan Refleksinya dalam Kehidupan Umat

Esensi Puasa dan Refleksinya dalam Kehidupan Umat

 DR. SAHARUDDIN DAMING, S.H. M.H. 
Kamis, 19 Juli 2012


Pada bulan Ramadan, sebagai penghulu semua bulan yang menjadi momentum penyelenggaraan ibadah puasa bagi orang-orang yang beriman, terdapat serangkaian hikmah.

Ada yang dirasakan sebagai sesuatu yang unik, adapula yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, kemiskinan, kesehatan, solidaritas, bahkan ada yang justru antagonis dengan esensi puasa. Dalam konteks terminologi, misalnya,Syekh Abdullah Yusuf Ali memosisikan puasa sebagai satu-satunya bentuk pengabdian dalam Islam dari seorang hamba kepada Khalik melalui pengorbanan kepentingan diri sendiri dengan menahan seluruh gejolak biologis.Ritual seperti ini sebenarnya bukan hal baru.

Puasa sebagai aktivitas ritual tidak hanya dikenal, tetapi juga diamalkan, oleh berbagai kalangan di luar Islam dengan cara maupun jumlah waktu yang berbeda-beda. Dalam kitab Al- Mishbah, Quraish Shihab antara lain menjelaskan bahwa orangorang Mesir kuno pun, sebelum mereka mengenal agama samawi, telah mengenal puasa. Dari sini praktik puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama penyembah bintang, agama Buddha, Yahudi,dan Kristen.

Dalam kitab Al-Fharasat Ibn an-Nadim menjelaskan bahwa agama para penyembah bintang menggariskan puasa tiga puluh hari setahun, ada pula puasa sunah 16 hari dan ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, juga kepada bintang Mars yang mereka percaya sebagai bintang nasib,juga kepada Matahari. Di dalam ajaran Buddha pun dikenal puasa, sejak terbit sampai terbenamnya matahari.Mereka melakukan puasa empat hari dalam sebulan. Mereka menamainya uposatha, pada hari-hari pertama, kesembilan, kelima belas dan kedua puluh.

Orang Yahudi mengenal puasa selama empat puluh hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut agamaagama ini, khususnya yang mengenang para nabi atau peristiwa- peristiwa penting dalam sejarah mereka. Agama Kristen juga demikian. Walaupun dalam kitab Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam praktik keberagamaan mereka dikenal aneka ragam puasa yang ditetapkan oleh pemukapemuka agama.

Dengan deskripsi tersebut di atas,puasa dalam konteks sosioreligius memang bukan sekadar ekspresi ritual yang bersifat verbalistik berupa penghentian sementara segala bentuk kebutuhan biologis, tetapi the highest value puasa dalam perspektif Islam tidak lain adalah self restraint (pengendalian diri).Tak cuma itu, berpuasa di bulan Ramadan juga mengemban misi sebagai sarana pendidikan dan latihan untuk mengawal dalam sebelas bulan lainnya, baik sebagai sarana pengendalian diri terhadap gejolak nafsu destruktif, maupun sebagai ajang perombakan sikap dan perilaku secara kualitatif.

Uniknya, karena meski puasa dalam konsepsi Islam merupakan aktivitas spiritual yang bertabur ajaran perilaku dalam dimensi sosial ekonomi budaya yang sangat spektakuler, pola perilaku yang direfleksikan dalam realitas kehidupan umat dari masa ke masa ternyata sering tidak signifikan bahkan cenderung paradoksal. Sebagai contoh bisa kita lihat pada dimensi ekonomi.

Hampir semua kita awalnya berkesimpulan bahwa dengan tidak makan dan minum pada bulan Ramadan berarti pengeluaran kita dengan sendirinya mengalami penurunan. Itu berarti saving (tabungan) akan meningkat. Namun, hasil survei umumnya berkesimpulan bahwa pelaksanaan puasa Ramadan, selain gagal memperkecil pengeluaran dan meningkatkan tabungan, justru melahirkan hal yang sebaliknya.

Betapa tidak, karena puasa dengan tidak makan dan minum di siang hari oleh sejumlah orang sering dibalas pada malam hari,terutama pada momentum sahur dan buka puasa.Jika pola konsumsi di luar bulan Ramadan umumnya hanya menyajikan menu standar dan ala kadarnya, menu untuk puasa di bulan Ramadan umumnya dibuat spesial. Selain karena alasan puasa yang memerlukan nutrisi dengan kualitas gizi yang lebih baik,juga ada yang melakukannya sebagai pemicu selera makan lantaran ingar-bingar puasa sering membawa banyak orang dalam ketergangguan nafsu makan.

Tidak mengherankan jika biaya pemenuhan kebutuhan pun meningkat drastis dari hari biasanya. Di sini esensi puasa untuk membentuk pribadi muslim yang lebih ekonomis tidak terwujud. Bahkan justru yang terjadi adalah pemborosan dan pemenuhan tuntutan nafsu di atas standar. Hal serupa juga terlihat pada aspek sosial. Tidak dapat disangkal jika timbulnya kerelaan melakukan aktivitas dengan menahan haus dan lapar dalam berpuasa tidak lain untuk mempertajam tumbuhnya kepekaan sosial.

Sayangnya ajaran luhur puasa ini ternyata tidak begitu tampak dalam manifestasi kehidupan sosial.Kepekaan sosial yang diajarkan puasa lebih sering diekspresikan dalam konteks formal. Bahkan sudah bukan rahasia lagi jika kebanyakan keluarga mapan secara ekonomi yang menjalankan ibadah puasa ternyata lebih sering menghamburhamburkan kekayaan untuk memperkuat status sosial mereka di hadapan kaum elite daripada menyantuni fakir miskin.

Padahal jika saja ajaran kepekaan sosial puasa ini benarbenar diterapkan dari masa ke masa, pemerintah kita tidak perlu melakukan transfer bantuan tunai dari kompensasi subsidi BBM kepada warga miskin. Titik bias yang paling krusial di balik pelaksanaan ibadah puasa bagi umat Islam pada umumnya terlihat pada aspek pembentukan sikap dan perilaku jujur dan adil. Sudah merupakan pengetahuan umum di kalangan kita, kualitas nilai puasa sesungguhnya terletak pada kemampuan mengendalikan emosi destruktif.

Sehingga output dari the highest value puasa tidak lain adalah melahirkan sikap yang konstruktif seperti jujur dan adil itu. Sungguh hal yang sangat ironis karena Ramadan dengan misi luhurnya seperti ini ternyata sering tidak berbanding lurus dengan realitas kehidupan umat dewasa ini.Tengoklah sebagian besar di antara kita yang mengaku sukses menahan lapar dan haus dalam berpuasa, ternyata ikut kebiasaan destruktif seperti ghibah,dusta,fitnah dan lainnya. Bahkan kadang- kadang memperoleh porsi yang lebih besar daripada sekadar menahan haus dan lapar.

Lebih celaka lagi pada fenomena penyalahgunaan amanah umat oleh oknum penyelenggara negara seperti yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum, Kementerian Agama, Mahkamah Agung, dll. Hampir sulit ditemukan logika dalam batas yang paling sederhana untuk menjustifikasi perilaku destruktif seperti ini terjadi pada orang yang mengaku menunaikan ibadah puasa. Padahal, bukankah Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa betapa banyak orang yang memperoleh imbalan dari puasanya hanyalah sekadar lapar dan haus.

Mungkinkah terjadinya diskoneksi antara esensi puasa dengan perilaku umat akibat epistemologi pemahamannya yang bias sejak semula ataukah itu lebih karena dominannya kekuatan hedonisme dan materialisme di kalangan umat kita dewasa ini?
_

Eigen Rechting di Negara Hukum


Eigen Rechting di Negara Hukum

Saharuddin Daming  ;   Anggota Departemen Hukum dan HAM Majelis Nasional KAHMI 
REPUBLIKA, 03 April 2013


Sejak kabar tentang tragedi Cebongan menyeruak ke ruang publik, berbagai upaya dilakukan untuk mengungkap tabir yang masih menutup rapat insiden meng hebohkan itu. Meski TNI AD telah membentuk tim investigasi untuk mengusut benar-tidaknya keterlibatan oknum TNI dalam kasus itu, namun kejadian tersebut semakin melengkapi peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya.

Semua rangkaian kasus tersebut dalam perspektif hukum merupakan bentuk pengejawantahan tindakan main hakim sendiri yang dalam terminologi Belanda disebut eigen rechting. Tidak dapat disangkal bahwa segala bentuk eigen rechting merupakan serangan langsung pada ketentuan dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang mendudukkan Indonesia sebagai negara hukum.

Negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.

Ada dua unsur dalam negara hukum, yaitu pertama: hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu norma objektif; kedua: norma objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide hukum. Karena itu ada empat alasan mengapa negara menyelenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum: demi kepastian hukum, tuntutan perlakuan yang sama, legitimasi demokrasi, dan tuntutan akal budi. Inilah arti penting dari konsepsi nomokrasi yang memosisikan kedaulatan tunduk pada hukum.

Sayang seribu sayang, karena hukum yang disebut-sebut sebagai panglima dalam melaksanakan reformasi kini tampak semakin lesu dan bopeng karena diacak justru oleh kalangan yang memiliki kekuasaan dan/atau keuangan.

Negara hukum yang digariskan oleh konstitusi ternyata hanyalah atribut simbolis bagi elite kekuasaan dan keuangan untuk mengeksploitasi dan mengintimidasi kaum proletar. Hukum tak ubahnya hanyalah milik para elite untuk digunakan sebagai sarana kontrol dalam melindungi kepentingan mereka. Sedangkan, keadilan yang dijanjikan oleh hukum bagi warga negara khususnya dari kalangan papa tak lebih hanyalah sekadar ungkapan basa basi.

Tengoklah sejumlah perkara yang melibatkan oknum penyelenggara negara, khususnya aparatur penegak hukum sebagai pelaku kejahatan, mereka semua dapat mengintervensi proses peradilan untuk mendapatkan impunitas, kalau bukan peradilan sesat/sandiwara demi mendapatkan hukuman seringan-ringannya. Bukankah ini merupakan praktik eigen rechting yang nyata dan sistemis?

Fenomena kebangkrutan hukum seperti ini sungguh telah membolak-balikkan kebenaran dan keadilan. Betapa banyak laporan dan pengaduan warga kepada aparat penegak hukum tentang tindakan kriminal yang dialami warga, namun sering tidak ditindaklanjuti karena mereka adalah kalangan miskin yang tak sanggup menyuplai nutrisi yang cukup kepada oknum aparat. Sebaliknya, banyak tindakan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain yang menjadi ke wenangan aparat penegak hukum dilakukan secara berlebihan, bahkan ada beberapa yang sebetulnya tidak patut dan tidak profesional. Namun, hal itu tetap ditindak akibat intervensi kepentingan orang yang kebetulan memiliki kekuatan ekonomi, status sosial, dan jabatan.

Robohnya benteng terakhir keadilan adalah petaka besar dalam law enforcement di negeri yang telah mendudukkan diri sebagai negara hukum (Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945). Hal tersebut terjadi akibat makar yang dilakukan oleh para fungsionaris hukum sendiri (polisi, jaksa, hakim, dan advokat).

Sejak sang Dewi mewasiatkan istananya sebagai simbol penegakan hukum dan keadilan, para fungsionaris hukum melakukan pengkhianatan dengan melepas selubung penutup matanya, sebagaimana yang dicontohkan sang Dewi, sehingga mereka dapat bermain mata dengan para pihak. Tak hanya itu, timbangan yang tergenggam di tangan kiri tak pernah lagi ditera sehingga tidak dapat membedakan antara berat dan ringannya kesalahan para pihak.

Tragisnya lagi karena pedang yang diacungkan tangan kanan sang Dewi tak pernah lagi diasah secara betul, kecuali hanya pada sisi bawah dan depannya saja. Akibatnya, wajah penegakan hukum tampak seperti pisau, yang hanya tajam ke bawah dan ke depan. Akibatnya, muncullah kultur jilat-menjilat di kalangan petualang jabatan.

Mencermati megatren eigen rechting yang dilakukan oleh elite seperti itu, maka sebagian warga akhirnya nekat melakukan tindakan main hakim sendiri.

Meski tak ada dasar pembenarannya, cara itu terpaksa diambil sebagai jalan pintas untuk merebut keadilan. Semua itu tidak lain karena panji keadilan telah dibajak oleh pengadilan sendiri. Lembaga penegak hukum telah kehilangan kepercayaan publik dan warga lebih memilih melakukan eigen rechting daripada menempuh jalur hukum yang cenderung berbiaya tinggi, tetapi miskin produk keadilan dan kemanfaatan bagi semua warga negara atas dasar equal justice under law and equal justice before the law.


Hukum dalam Blokade Politik