Bila mencermati intensitas penanganan tindak
pidana korupsi (TPK) yang melibatkan sejumlah penyelenggara negara belakangan
ini, itu menyiratkan TPK belum bergeser dari common enemy menjadi prevention
acts. Salah satu tantangan law enforcement yang perlu segera diterobos ialah
perilaku antagonis yang masih melembaga dalam pemberantasan TPK.
Hal itu terpotret secara vulgar pada kasus
penahanan Angelina Sondakh oleh KPK. Tersingkap ke ruang publik sikap ambigu
dari sebagian pengurus Partai Demokrat yang memberikan dukungan dalam bentuk
fasilitasi pembelaan hukum kepada Angie. Nuansanya sangat kontras ketika
Nazaruddin menghadapi proses hukum yang sama.
Selain tidak mendapat pembelaan hukum, ia malah
dipecat sebagai bendahara umum partai, bahkan di-recall sebagai anggota DPR
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Paradigma antagonisme seperti itu juga tampak
pada kasus Arifinto yang harus kehilangan kursi di DPR meski hanya kepergok
menyimpan gambar porno dalam Ipadnya. Bandingkan dengan Misbakhun, Panda
Nababan, dan sejumlah anggota DPR maupun pimpinan daerah yang terlibat kasus
TPK, sampai saat ini masih tetap menduduki jabatan mereka meski telah divonis pengadilan,
bahkan ada yang telah menjalani eksekusi.
Wa Ode Nurhayati yang sejak semula berjibaku
untuk bekerja sama dengan KPK dalam rangka membongkar megaskandal TPK yang
melibatkan koleganya di Badan Anggaran DPR maupun di eksekutif nyaris luput
dari simpati KPK dalam memosisikan Wa Ode sebagai justice collaborator.
Bandingkan dengan perilaku Angie yang sejak awal bungkam bahkan berani
berbohong demi melindungi aktor sentral TPK yang menjeratnya. Anehnya, Angie
malah dilamar KPK sebagai justice collaborator dengan imbalan insentif dan kompensasi.
Mengguritanya perilaku korup di kalangan
penyelenggara negara merupakan dampak dari hedonisme yang melahirkan budaya
kleptokrasi (kesenangan mengambil/ menerima penghasilan tambahan dengan cara
yang tidak terhormat). Misalnya, upeti, uang lelah, biaya tambahan, suap,
hingga mark-up dan lainlain. Padahal, dalam sumpah jabatan mereka terucap janji
untuk tidak menerima apa pun yang terkait langsung atau tidak langsung dengan
jabatan yang diemban.
Lebih krusial lagi ialah teru ungkapnya kasus
TPK yang m melibatkan sejumlah aparat penegak hukum, khususnya oknum hakim. Tak
pelak lagi, wajah peradilan kita betul-betul tampak semakin ringsek dan bopeng.
Karena bagaimanapun keadaannya, aparat penegak hukum terutama hakim merupakan
ujung tombak pemberantasan TPK. Dari dia, dan oleh dialah, TPK dalam segala
bentuknya dapat diperangi de ngan memaksimalkan lembaga `efek jera'. Itu lah
sebabnya jabatan sebagai aparat penegak huk u m , khusus nya hakim, haruslah
steril dari setiap rongrongan atau intervensi dari pihak mana pun dalam
memberantas TPK.
Ironisnya, meski ada empat lembaga formal yang
berwenang menangani kasus TPK (kejaksaan, kepolisian, KPK dan pengadilan
tipikor), TPK dengan segala bentuknya masih tetap berlangsung dengan modus
operandi yang semakin kompleks. Hal ini terjadi bukan hanya karena pimpinan dan
kolega aparat penegak hukum terkesan melakukan pembiaran atau saling melindungi
dalam bingkai solidaritas korps. Malah, mereka kadangkadang menjadi dalang TPK.
Selain itu, terjadinya deviasi penjatuhan sanksi kepada pelaku TPK melalui
putusan hakim, yang memperparah inefektivitas efek jera, merupakan an jera,
merupakan antagonisme nyata dalam pemberantasan TPK.
Ketika Urip Tri Gunawan didakwa menerima suap
didakwa menerima su dari Arthalita Suryani, penegak hukum antusias melakukan
pemberatan hukuman dengan mengganjar 20 tahun penjara, padahal JPU hanya
menuntut 15 tahun sesuai dengan amanat Pasal 12 huruf b UU No 31/1999. Hebatnya
lagi, meski dilakukan upaya hukum, MA dalam putusan No 1243 K/Pid. Sus/2009
tanggal 11 Maret 2009 memperkuat putusan sebelumnya.
Antiklimaks terjadi ketika perkara dan rujukan
hukum yang serupa mendudukkan oknum hakim (Syarifuddin Umar) sebagai terdakwa
TPK, hakim Tipikor Jakarta Pusat dalam putusan No 541 PID.B/
TPK/2011/PN.JKT.PST, hanya menjatuhkan vonis kepada terdakwa dengan hukuman
yang sangat ringan, yaitu 4 tahun penjara. Padahal, JPU menuntutnya 20 tahun sebagaimana
yurisprudensi MA tersebut yang menekankan reasoning pemberatan hu kuman karena
terdakwa adalah aparat penegak hukum yang harus men jadi contoh pemberan tasan
TPK.
Tragisnya lagi, meski JPU berjibaku memberantas
TPK dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik (shifting burden of proof)
dalam perkara tersebut, hakim tipikor justru mengambil sikap oposisi dengan
bermain di atas altar interpretasi terhadap Pasal 38 B UU No 31/1999 Jo UU No
20/2001. Akibatnya sejumlah valas dengan nilai lebih dari Rp 2 miliar yang
ditemukan petugas KPK saat menggerebek tersangka di rumah dinasnya lolos dari
jeratan hukum.
Padahal, sebagai seorang hakim ia tidak mungkin
mempunyai penghasilan sebesar itu, apalagi gaji para hakim semuanya dibayar
dalam bentuk rupiah, bukan valas.
Semua ini makin memperparah kronisme
inkonsistensi aparat penegak hukum dalam pemberantasan TPK. Selain mengabaikan
fungsi yurisprudensi yang berpegang pada prinsip the binding force of
presedent, inkonsistensi tersebut ditengarai kemasukan angin solidaritas korps.
Atas nama jabatan, hakim mendekonstruksi fakta hukum hanya dengan interpretasi Pasal
5 ayat (2) atau Pasal 11 UU No 31/1999 Jo UU No 20/2001. Dalam interpretasinya,
hakim berkesimpulan bahwa kasus suap dalam perkara aquo adalah pasif, sedangkan
dalam kasus Urip Tri Gunawan merupakan suap yang aktif.
Antagonisme berpangkal pada penjelasan Pasal 37
UU No 31/1999 bahwa pembuk tian ter balik yang kita anut bersifat terbatas,
sehingga JPU tetap wajib membuktikan dakwaan. Konstruksi hukum seperti ini kontraproduk
tif. Bagaimana mungkin itu bisa disebut sebagai pembuktian terbalik jika JPU
masih dibebani kewajiban untuk membuktikannya. Semua ini makin mengencangkan
tarian antagonisme pemberantasan TPK lantaran mengadopsi sistem pembuktian
terbalik setengah hati.
Konstruksi hukum yang mengadopsi sistem
pembuktian terbalik yang bersifat terbatas sebetulnya telah digugurkan Pasal 38
B ayat (1) UU No 20/2001, yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang yang
didakwa melakukan TPK berdasarkan harta miliknya yang tidak wajar wajib membuktikan
sebaliknya terhadap harta tersebut meski belum didakwakan oleh jaksa.
Dengan demikian, konstruksi hukum tentang
pembuktian terbalik menurut UU No 20/2001 tidak lagi bersifat terbatas, tetapi
dibebankan sepenuhnya kepada terdakwa. Peran JPU hanya tertuju pada tuntutan
perampasan harta benda yang diajukan dalam tuntutan (Pasal 38 B ayat (3) UU No
20/2001).
Bentuk antagonisme terparah dalam pemberantasan
TPK dipertontonkan Pasal 175 KUHAP yang pada pokoknya memberi perlindungan
kepada terdakwa berupa hak ingkar. Berdasarkan ketentuan tersebut, terdakwa
berhak menyangkal bahkan berbohong sekalipun di depan sidang pengadilan. Selain
menabrak Pasal 242 KUHP yang melarang pemberian keterangan palsu di bawah
sumpah, hak ingkar dimaksud juga mencederai tujuan hukum pidana materiil yang selalu
mencari kebenaran intrinsik. Bagaimana mungkin tujuan itu dapat dicapai jika
hukum dan interpretasinya membenarkan antagonisme penemuan kebenaran materiil?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar