ISU penyalahgunaan narkotika dan
zat adiktif berbahaya lainnya (narkoba) kembali merebak dalam wacana publik
pascapenggerebekan yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap
empat selebritas papan atas bersama 13 orang lainnya di kediaman Raffi
Ahmad, Minggu (27/1) dini hari. Meski belum terbukti seluruhnya sebagai
pelaku, fenomena tersebut semakin melebarkan pintu keprihatinan kita
terhadap intensitas proliferasi kriminal narkoba dalam masyarakat.
Betapa tidak, data statistik BNN
menyebutkan kasus penyalahgunaan narkoba selalu memperlihatkan tren yang
meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2011 tercatat 30.073 kasus, meningkat 12,57%
dari 2010 sebanyak 26.714 kasus.
Ironisnya, diferensiasi pelaku
kriminal barang haram itu telah menjangkau elemen masyarakat dengan
membentur dinding anomali yang sangat beragam. Selain menghinggapi kalangan
mapan, dewasa, remaja, hingga anak anak, mereka sudah menjangkau para elite
termasuk selebritas. Dunia medis selama ini menjadi referentor ancaman
bahaya penyalahgunaan narkoba sehingga steril dari ingar-bingar
penyalahgunaan narkoba. Namun, semua itu kini tinggallah isapan jempol
belaka.
Sejumlah paramedis hingga dokter
yang sangat paham tentang risiko medis penyalahgunaan narkoba kini justru
menjadi pecandu hingga distributor.
Anehnya, meski upaya preventif
telah dilakukan berbagai kalangan dalam bentuk kampanye penyadaran publik
tentang konsekuensi serius penyalahgunaan narkoba, tingkat kriminalitas
musuh bersama itu justru memperlihatkan konfigurasi diametral yang
berbanding terbalik dengan ekspektasi publik. Padahal, kurang apa pranata
hukum menempatkan perbuatan tersebut sebagai extraordinary crime
dengan ancaman pidana mati bagi pengedar, bandar, dan produsen?
Semua kalah oleh godaan narkoba
yang sangat meng giurkan. Selain sugesti kenikmatan pamungkas yang mampu
menaklukkan kekuatan penalaran logis, narkoba punya daya magnet sebagai
simbol kemapanan dan gaya hidup glamor. Akibatnya banyak kalangan papa
memaksakan diri demi memenuhi hasrat hedonistis mereka yang sarat akan
bahaya multidimensional. Tak hanya itu, narkoba kini juga menjadi praktik
bisnis yang paling seksi dan menjanjikan.
Buktinya, kalangan residivis
tetap mampu mengendalikan bisnis ilegal tersebut meski berada di balik
jeruji besi. Begitu dahsyatnya stimulasi profit bisnis narkoba sehingga
mampu menciptakan anomali dalam hukum pasar.
Meski supply and demand
terus meningkat, harga tidak pernah turun sebagaimana yang berlaku dalam
sistem pasar pada umumnya.
Tidak mengherankan jika
peredaran narkoba di era kekinian telah meluluhlantakkan hampir sebagian
besar benteng pertahanan secara multistruktural.
Paling krusial jika hal itu menjangkiti aparat penegak
hukum yang menjadi ujung tombak pemberantasan narkoba melalui law
enforcement. Tak ayal lagi, mereka tak kuasa membendung rayuan maut
narkoba dengan segala daya pikatnya. Sudah banyak diberitakan sejumlah
jaksa bahkan hakim hingga pengacara terlibat kasus narkoba.
Demikian pula anggota Polri sebagai gugus terdepan dalam
pemberantasan narkoba kini justru menjadi bagian dari mata rantai
perdagangan barang haram itu.
Segelintir petugas Polri di
semua tingkatan berani mengedarkan kembali narkoba dari hasil sitaan, ada
pula yang bermain mata dengan tersangka hingga petugas dimaksud `bermain'
tangkap lepas. Si aparat tega melepas bandar narkoba dengan dalih tahanan
luar alias wajib lapor. Tentu saja dengan imbalan uang yang bisa dipakai
untuk hidup mewah.
Lebih hebat lagi, atasan yang
bersangkutan rela mengkhianati sumpah jabatan demi melacurkan diri sebagai
pemeras kepada para tahanan narkoba. Ada yang sekadar berpura-pura memberi
teguran hingga bermasa bodoh, bahkan ada yang malah memberi dukungan secara
diam-diam kepada anggotanya.
Tak hanya itu, mereka kerap
berkoordinasi dengan sesama penegak hukum untuk mengatur jalannya proses
hukum di semua tingkatan peradilan. Dengan demikian, terjadinya pelemahan atau
penumpulan pedang hukum dimungkinkan. Semua tentu dilakukan karena tiap
pihak kecipratan porsi yang lebih besar daripada sindikat bisnis narkoba.
Kecenderungan seperti itu
merupakan akibat dari sikap para penegak hukum yang terkesan setengah hati
menggulung jaringan pengedar/penyalah guna narkoba. Betapa tidak, meski
sebagian besar pelaku sudah ada yang divonis hukuman mati dan pelaku
lainnya terpaksa ditembak karena berusaha melarikan diri dari penyergapan,
semua itu ternyata tak membuat para pelaku jera apalagi bertobat karena
didukung dan dilindungi aparat penegak hukum sendiri yang telah menjadi
jaringan mereka. Lebih celaka lagi, dalam membidik sasaran, polisi diberi
wewenang oleh aturan hukum untuk menjebak. Hal itu rentan disalahgunakan
untuk menghancurkan reputasi seseorang.
Hampir merupakan rahasia umum
bahwa demi menjerat target sasaran, polisi telah menyiapkan dan meletakkan
narkoba di tempat tertentu pada lokasi penggerebekan. Semua sangkalan
dengan saksi bahkan sumpah sekalipun dari calon tersangka akan selalu
dianggap alibi oleh polisi. Lebih parah lagi, jika suatu ketika kita
tibatiba menerima paket kiriman narkoba dari pengirim yang sama sekali tak
memiliki hubungan kepentingan dengan kita, tetapi petaka kriminal sudah tak
terelakkan lagi melekat pada diri kita. Meski kita berupaya membela diri
dengan cara apa pun, polisi bahkan mungkin publik akan tetap bersikap
apriori.
Padahal, paket itu boleh jadi
hanyalah skenario polisi sendiri atau pesanan kalangan tertentu untuk
membunuh karakter kita yang mungkin dianggap sebagai rivalnya.
Hal itu semakin diperparah
dengan kewenangan Polri termasuk tes urine yang memonopoli kebenaran nyaris
tanpa check and balance secara efektif. Meski ada mekanisme di internal
Polri seperti Irwas dan Propam, yang berwenang melakukan pemeriksaan dan
penindakan terhadap praktik abuse of power di lingkup Polri, mekanisme
tersebut sering tidak fair dan efektif karena lebih melindungi sesama
anggota atas dasar solidaritas korps. Kompolnas yang harusnya memutus mata rantai
praktik kongkalikong polisi yang terlibat penyalahgunaan jabatan juga tak
dapat berbuat maksimal lantaran kewenangan yang sangat terbatas.
Setali tiga uang juga tampak
pada lembaga praperadilan yang menurut KUHAP berfungsi untuk mencegah abuse
of power di lingkup Polri, tapi justru lebih banyak membeo dan
mengamini apa saja yang dilakukan polisi. Namun, anomali yang sangat vulgar
dalam penyalahgunaan narkoba tertuju pada lembaga yang kerap memberikan
grasi dan remisi kepada terpidana narkoba. Demikian pula putusan hakim,
khususnya pada tingkat Mahkamah Agung, yang berani mengubah pidana mati
atau seumur hidup dengan hukuman yang lebih ringan. Semua dengan alasan
kemanusiaan kalau bukan rekayasa riwayat peran pelaku. Begitulah nasib
pemberantasan narkoba yang penuh dengan anomali.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar