Bias Keadilan dalam Petaka Lapindo
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
MEDIA
INDONESIA, 14 Agustus 2012
“Komnas HAM tetap memutuskan
petaka Lapindo merupakan pelanggaran HAM berdasarkan UU No 39/1999 tentang HAM
sekaligus pelanggaran hukum."
LUMPUR sejatinya merupakan campuran
tanah, air, dan zat-zat lain yang lazim terdapat dalam genangan air seperti
sawah, kubangan, dan selokan. Dalam catatan sejarah, tak ada lumpur yang
membahayakan kehidupan manusia meski itu sering menjijikkan. Namun siapa
sangka, di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, lumpur justru
menjadi petaka secara manifes bagi segenap makhluk hidup dan lingkungan di
wilayah tersebut dan sekitarnya.
Kisah sedih itu bermula ketika PT
Lapindo Brantas Inc (LBI) bersama mitra kerja mereka melakukan aktivitas
eksplorasi dan eksploitasi di wilayah tersebut dengan konsesi areal
pertambangan bernama Blok Brantas, yaitu salah satu dari lima blok yang
terletak di cekungan Jawa Timur. Cekungan itu diperkirakan memiliki cadangan minyak
sebesar 900 juta barel dan gas sebesar 700 miliar kaki kubik. LBI lalu
melakukan pengeboran pada titik tertentu sesuai dengan hasil survei. Salah satu
sumur hasil pengeboran yang menjadi sumber malapetaka ialah Sumur Banjar Panji
I (BJP I). Sumur tersebut merupakan salah satu dari 49 sumur yang terletak di
Blok Brantas.
Pada 29 Mei pukul 05.00, terjadilah
semburan gas berikut lumpur ke permukaan hingga saat ini. Semburan gas berwarna
putih (H2S) dan lumpur panas keluar rawa yang berjarak sekitar 150 meter barat
daya dari sumur eksplorasi BJP I milik LBI, dekat permukiman warga. Penduduk
melaporkan adanya air bercampur lumpur setinggi 25 kaki (8 meter) yang
menyembur setiap 5 menit pada jarak sekitar 150 meter ke arah barat daya dari
menara pengeboran (rig).
Pada 30 Mei, semburan lumpur mulai
menggenangi sawah dan rawa. Sejak 5 Juni 2006, lumpur panas yang bersuhu
rata-rata 600 derajat celsius meluber terus-menerus ke berbagai wilayah yang
ada di sekitarnya dengan dampak yang sangat mengerikan. Sebagai salah satu
subkontraktor dalam kegiatan tersebut, Medco lalu menyatakan mundur karena LBI
telah melakukan kelalaian, yaitu tidak memasang casing pada kedalaman tertentu,
memindahkan rig demi mencegah kerugian, menghentikan penutupan semburan lumpur
karena biaya terlalu besar, dan lain-lain.
Luapan lumpur Lapindo telah
mengakibatkan 10.426 rumah penduduk hancur, 1.644 ternak mati, 7.762 ha tambak
rusak, lebih dari 31 perusahaan yang berada di sekitar lokasi tutup, serta
mengakibatkan puluhan ribu warga kehilangan properti dan mata pencarian.
Infrastruktur publik seperti lembaga pendidikan, transportasi, jaringan
listrik, telepon, dan pipa gas sebagian telah musnah dan selebihnya terancam
rusak berat.
Tragisnya, berbagai langkah
penanggulangan petaka yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun LBI tidak juga
mengakhiri penderitaan semua korban.
Lebih ironis lagi, meski puluhan
ribu orang telah menjadi korban dengan kerugian yang tiada tara, berbagai upaya
hukum yang dilakukan untuk menuntut pertanggungjawaban PT LBI, baik melalui
jalur perdata, pidana, maupun tata usaha negara, berakhir dengan putusan yang
mengalahkan korban. Satu-satunya jalur yang masih tersisa bagi korban untuk
mendapatkan keadilan atas petaka yang mereka harus mereka pikul akibat perbuatan
pihak lain hanyalah pada Komnas HAM agar dapat menjerat peristiwa lumpur panas
Lapindo sebagai pelanggaran HAM berat sesuai dengan UU No 26/2000 tentang
Pengadilan HAM.
Sesuai dengan mandat UU No 26/2000,
Komnas HAM melakukan penyelidikan melalui tim ad hoc terhadap kasus itu
sejak 2009 hingga 2011. Melalui penafsiran secara progresif terhadap rumusan
delik dalam UU No 26/2000, tim akhirnya menyimpulkan ‘terdapat dugaan
pelanggaran HAM berat’ sesuai dengan Pasal 7 jo Pasal 9 huruf a, b, dan d UU No
26/2000. Dalam hal tersebut, tim mengklasifikasikan dampak peristiwa lumpur
panas Lapindo sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan melalui pembunuhan,
pemusnahan, dan pemindahan penduduk secara paksa.
Sayangnya kesimpulan tim tersebut
sebagai ekspektasi tunggal korban kepada Komnas HAM sehingga akhirnya kandas
dalam sidang paripurna Komnas HAM tertanggal 8 Agustus 2012. Mayoritas
komisioner yang terkooptasi metode penafsiran konservatif terhadap rumusan
delik dalam UU No 26/2000 menolak kesimpulan tim dimaksud. Dalil penolakan
tertuju pada dimensi penafsiran terhadap rumusan delik UU No 26/2000 yang
terlalu sempit daripada luasnya cakupan perkara. Delik pembunuhan dianggap
tidak memenuhi syarat karena korban yang tewas sebanyak 14 jiwa tidak dari
semula direncanakan oleh pelaku. Padahal penjelasan Pasal 9 huruf a menukik
pada pembunuhan berencana sesuai dengan Pasal 340 KUHP.
Adapun delik pemusnahan sebagaimana
dimaksud Pasal 9 huruf b tidak berkoneksi sama sekali dengan fakta yang
terdapat dalam perkara.
Makna pemusnahan dalam Pasal 9 huruf
b lebih tertuju pada keberadaan sikap batin (mensrea) pelaku untuk
memusnahkan orang, sedangkan delik pemindahan penduduk secara paksa yang sempat
menjadi dasar bagi para komisioner Komnas HAM dalam mengkriminalisasi peristiwa
lumpur panas Lapindo sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan akhirnya harus
gugur karena mengungsinya warga dari tempat tinggal mereka dianggap tidak
sesuai dengan makna historis tentang pemindahan penduduk secara paksa,
sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 UU No 26/2000.
Sampai di situ, hukum yang
bercita-cita mewujudkan ke adilan dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang
ternyata hanyalah seonggok rumusan kata-kata yang membelenggu keadilan dan
kebahagiaan itu sendiri. Air mata para korban petaka Lapindo yang telah lama
mengering dalam penantian terhadap hadirnya dewi keadilan pupus berbalut duka.
Aturan hukum dan aparat pelaksananya terkesan lebih mengakomodasi kepentingan
pelaku daripada korban.
Karena itu, dalam sidang paripurna
tersebut, Komnas HAM tetap memutuskan petaka Lapindo merupakan pelanggaran HAM
berdasarkan UU No 39/1999 tentang HAM sekaligus pelanggaran hukum. Jadi Komnas
HAM meminta penegak hukum terkait agar membuka kembali proses hukum tentang
petaka tersebut, yang pernah macet karena berbagai alasan, untuk dilanjutkan
termasuk langkah remedi secara adil bagi seluruh korban tanpa terkecuali.
Komnas HAM juga merekomendasikan perubahan UU N0 26/2000 agar mengakomodasi ecocide
crime sebagai delik pelanggaran HAM berat. Jika hal itu terwujud, petaka
Lapindo sudah dapat dikriminalisasi dengan kualifi kasi pelanggaran HAM berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar