Jumat, 30 Maret 2018

Bias Keadilan dalam Petaka Lapindo


Bias Keadilan dalam Petaka Lapindo

Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA,  14 Agustus 2012

Komnas HAM tetap memutuskan petaka Lapindo merupakan pelanggaran HAM berdasarkan UU No 39/1999 tentang HAM sekaligus pelanggaran hukum."

LUMPUR sejatinya merupakan campuran tanah, air, dan zat-zat lain yang lazim terdapat dalam genangan air seperti sawah, kubangan, dan selokan. Dalam catatan sejarah, tak ada lumpur yang membahayakan kehidupan manusia meski itu sering menjijikkan. Namun siapa sangka, di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, lumpur justru menjadi petaka secara manifes bagi segenap makhluk hidup dan lingkungan di wilayah tersebut dan sekitarnya.

Kisah sedih itu bermula ketika PT Lapindo Brantas Inc (LBI) bersama mitra kerja mereka melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi di wilayah tersebut dengan konsesi areal pertambangan bernama Blok Brantas, yaitu salah satu dari lima blok yang terletak di cekungan Jawa Timur. Cekungan itu diperkirakan memiliki cadangan minyak sebesar 900 juta barel dan gas sebesar 700 miliar kaki kubik. LBI lalu melakukan pengeboran pada titik tertentu sesuai dengan hasil survei. Salah satu sumur hasil pengeboran yang menjadi sumber malapetaka ialah Sumur Banjar Panji I (BJP I). Sumur tersebut merupakan salah satu dari 49 sumur yang terletak di Blok Brantas.

Pada 29 Mei pukul 05.00, terjadilah semburan gas berikut lumpur ke permukaan hingga saat ini. Semburan gas berwarna putih (H2S) dan lumpur panas keluar rawa yang berjarak sekitar 150 meter barat daya dari sumur eksplorasi BJP I milik LBI, dekat permukiman warga. Penduduk melaporkan adanya air bercampur lumpur setinggi 25 kaki (8 meter) yang menyembur setiap 5 menit pada jarak sekitar 150 meter ke arah barat daya dari menara pengeboran (rig).

Pada 30 Mei, semburan lumpur mulai menggenangi sawah dan rawa. Sejak 5 Juni 2006, lumpur panas yang bersuhu rata-rata 600 derajat celsius meluber terus-menerus ke berbagai wilayah yang ada di sekitarnya dengan dampak yang sangat mengerikan. Sebagai salah satu subkontraktor dalam kegiatan tersebut, Medco lalu menyatakan mundur karena LBI telah melakukan kelalaian, yaitu tidak memasang casing pada kedalaman tertentu, memindahkan rig demi mencegah kerugian, menghentikan penutupan semburan lumpur karena biaya terlalu besar, dan lain-lain.

Luapan lumpur Lapindo telah mengakibatkan 10.426 rumah penduduk hancur, 1.644 ternak mati, 7.762 ha tambak rusak, lebih dari 31 perusahaan yang berada di sekitar lokasi tutup, serta mengakibatkan puluhan ribu warga kehilangan properti dan mata pencarian. Infrastruktur publik seperti lembaga pendidikan, transportasi, jaringan listrik, telepon, dan pipa gas sebagian telah musnah dan selebihnya terancam rusak berat. 
Tragisnya, berbagai langkah penanggulangan petaka yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun LBI tidak juga mengakhiri penderitaan semua korban.

Lebih ironis lagi, meski puluhan ribu orang telah menjadi korban dengan kerugian yang tiada tara, berbagai upaya hukum yang dilakukan untuk menuntut pertanggungjawaban PT LBI, baik melalui jalur perdata, pidana, maupun tata usaha negara, berakhir dengan putusan yang mengalahkan korban. Satu-satunya jalur yang masih tersisa bagi korban untuk mendapatkan keadilan atas petaka yang mereka harus mereka pikul akibat perbuatan pihak lain hanyalah pada Komnas HAM agar dapat menjerat peristiwa lumpur panas Lapindo sebagai pelanggaran HAM berat sesuai dengan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Sesuai dengan mandat UU No 26/2000, Komnas HAM melakukan penyelidikan melalui tim ad hoc terhadap kasus itu sejak 2009 hingga 2011. Melalui penafsiran secara progresif terhadap rumusan delik dalam UU No 26/2000, tim akhirnya menyimpulkan ‘terdapat dugaan pelanggaran HAM berat’ sesuai dengan Pasal 7 jo Pasal 9 huruf a, b, dan d UU No 26/2000. Dalam hal tersebut, tim mengklasifikasikan dampak peristiwa lumpur panas Lapindo sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan melalui pembunuhan, pemusnahan, dan pemindahan penduduk secara paksa.

Sayangnya kesimpulan tim tersebut sebagai ekspektasi tunggal korban kepada Komnas HAM sehingga akhirnya kandas dalam sidang paripurna Komnas HAM tertanggal 8 Agustus 2012. Mayoritas komisioner yang terkooptasi metode penafsiran konservatif terhadap rumusan delik dalam UU No 26/2000 menolak kesimpulan tim dimaksud. Dalil penolakan tertuju pada dimensi penafsiran terhadap rumusan delik UU No 26/2000 yang terlalu sempit daripada luasnya cakupan perkara. Delik pembunuhan dianggap tidak memenuhi syarat karena korban yang tewas sebanyak 14 jiwa tidak dari semula direncanakan oleh pelaku. Padahal penjelasan Pasal 9 huruf a menukik pada pembunuhan berencana sesuai dengan Pasal 340 KUHP.

Adapun delik pemusnahan sebagaimana dimaksud Pasal 9 huruf b tidak berkoneksi sama sekali dengan fakta yang terdapat dalam perkara.
Makna pemusnahan dalam Pasal 9 huruf b lebih tertuju pada keberadaan sikap batin (mensrea) pelaku untuk memusnahkan orang, sedangkan delik pemindahan penduduk secara paksa yang sempat menjadi dasar bagi para komisioner Komnas HAM dalam mengkriminalisasi peristiwa lumpur panas Lapindo sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan akhirnya harus gugur karena mengungsinya warga dari tempat tinggal mereka dianggap tidak sesuai dengan makna historis tentang pemindahan penduduk secara paksa, sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 UU No 26/2000.

Sampai di situ, hukum yang bercita-cita mewujudkan ke adilan dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang ternyata hanyalah seonggok rumusan kata-kata yang membelenggu keadilan dan kebahagiaan itu sendiri. Air mata para korban petaka Lapindo yang telah lama mengering dalam penantian terhadap hadirnya dewi keadilan pupus berbalut duka. Aturan hukum dan aparat pelaksananya terkesan lebih mengakomodasi kepentingan pelaku daripada korban.

Karena itu, dalam sidang paripurna tersebut, Komnas HAM tetap memutuskan petaka Lapindo merupakan pelanggaran HAM berdasarkan UU No 39/1999 tentang HAM sekaligus pelanggaran hukum. Jadi Komnas HAM meminta penegak hukum terkait agar membuka kembali proses hukum tentang petaka tersebut, yang pernah macet karena berbagai alasan, untuk dilanjutkan termasuk langkah remedi secara adil bagi seluruh korban tanpa terkecuali. Komnas HAM juga merekomendasikan perubahan UU N0 26/2000 agar mengakomodasi ecocide crime sebagai delik pelanggaran HAM berat. Jika hal itu terwujud, petaka Lapindo sudah dapat dikriminalisasi dengan kualifi kasi pelanggaran HAM berat. 


Tidak ada komentar:

Hukum dalam Blokade Politik