Jumat, 30 Maret 2018

Tren Pelanggaran HAM 2011

Tren Pelanggaran HAM 2011 
Saharuddin DamingKomisioner Komnas HAM
Jumat, 30 Desember 2011

Menutup lembaran tahun 2011, wajah pemajuan dan penegakan HAM masih tampak buram. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam tahun ini relatif tinggi dan beragam, serta kerap diwarnai dengan tindakan kekerasan yang berlatar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum atau aspek lain.

Pelanggaran HAM tersebut bukan saja menimbulkan trauma bagi korban, melainkan juga berdampak secara multidimensional bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironisnya, karena kebanyakan pelanggaran HAM dimaksud nyaris tak tersentuh penyelesaian secara hukum maupun remedi.
Tren pelanggaran HAM di sepanjang tahun ini tecermin dari jumlah pengaduan yang diterima Komnas HAM per Januari sampai Oktober 2011 adalah 3780 kasus. Tren ini meningkat 14,37% dibanding dengan periode yang sama pada tahun 2010 sebanyak 3237 kasus. Berdasarkan data tersebut, tren pelanggaran HAM yang ditangani Komnas HAM tahun ini rata-rata 378 kasus per bulan, atau 86 kasus per minggu atau 12 kasus per hari.

Sebenarnya tren tersebut belum merefleksikan jumlah pelanggaran HAM secara keseluruhan. Diduga, lebih dari dua kali lipat kasus pelanggaran HAM yang tidak diadukan oleh masyarakat ke Komnas HAM karena berbagai faktor, terutama ketidaktahuan atau ketidakmampuan masyarakat menyampaikan pengaduan menurut ketentuan perundang-undangan.

Hal ini sungguh sangat memprihatinkan karena bukankah reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 merupakan akumulasi traumatik anak negeri yang menolak praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat dengan pelanggaran HAM. Sejak itu, isu HAM terus dikumandangkan hingga mencapai puncaknya ketika MPR melegitimasi norma HAM dalam konstitusi baru kita, bahkan DPR bersama pemerintah mengadopsi prinsip HAM sebagai skala prioritas melalui UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maupun UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM juncto UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan berbagai instrumen HAM lainnya.

Tak hanya itu, untuk membumikan prinsip dan norma HAM menjadi darah daging ibu pertiwi, pemerintah melalui Keppres No.50 Tahun 1993 membentuk Komnas HAM. Bahkan, berdasarkan Vienna Declaration and Programme of Action of The World Conference of Human Rights tertanggal 25 Juni 1993, pemerintah telah mencanangkan sebuah gerakan yang terkemas dalam RANHAM Program tersebut mulai diluncurkan melalui Keppres No.129 Tahun 1998 juncto Keppres No.61 Tahun 2003 untuk periode 1998—2003, kemudian diperpanjang melalui Keppres No.40 Tahun 2004 untuk periode 2004—2009, dan diperpanjang lagi melalui Perpres No.23 Tahun 2011 untuk periode 2010—2014.

Sayangnya, karena rangkaian upaya pemajuan dan penegakan HAM sebagaimana dikemukakan di atas, tingkat keberhasilannya kurang begitu signifikan dirasakan oleh publik karena cenderung dilaksanakan secara verbal, parsial, sektoral dan setengah hati. Salah satu maintrigger tren pelanggaran HAM yang masih tinggi pada tahun 2011 adalah rendahnya political action para penyelenggara negara untuk menjabarkan prinsip dan norma HAM dalam pelaksanaan tugasnya secara konsisten. Hal ini tecermin pada kasus pelanggaran HAM tertinggi untuk kategori aktor yaitu unsur Polri sebanyak 1.075 kasus atau 28,44% dari total kasus, atau meningkat 18,88% dari 872 kasus pada tahun 2010.

Bentuk pelanggaran HAM yang diadukan masyarakat dengan melibatkan unsur Polri mencakup kasus penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang maupun pengabaian pengaduan warga hingga tindakan kekerasan, terutama pada penanganan terorisme dan aksi unjuk rasa. Penanganan Polri terhadap terorisme dan unjuk rasa sering mengarah kepada extrajudicial killing akibat penggunaan senjata yang berlebihan (excessive use of power). Kita tentu tidak dapat membenarkan Polri atau siapa pun yang menegakkan hukum tetapi mengabaikan norma HAM. Karena bukankah pimpinan Polri telah berkomitmen untuk membangun sistem operasi Polri berbasis HAM melalui peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009.

Bentuk pelanggaran HAM yang paling menyita perhatian publik tahun ini tertuju pada kasus sengketa lahan (land tenurial conflict) yang meningkat 20,56% dari 479 menjadi 603 kasus. Tingginya kasus sengketa lahan tersebut dipicu oleh makin meningkatnya ekspansi investasi di sektor agraria dengan memarginalkan hak tradisional masyarakat.

Ironisnya, karena syahwat ekspansionisme investor tersebut dilegalkan bahkan berkolaborasi dengan decision maker sebagai upaya untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara, tak ayal menggiring kekuatan masyarakat sipil terlibat konflik dengan investor di satu sisi dan negara pada sisi yang lain. Di mana masyarakat sipil selalu dikalahkan dan disalahkan, bahkan dikriminalisasi jika mereka melakukan perlawanan pembelaan diri.

Adapun kasus pelanggaran HAM yang cukup serius di sepanjang tahun 2011 adalah kasus kekerasan di Papua dan di tempat lain di samping konflik perburuhan, SARA, mafia peradilan, rendahnya keberpihakan kebijakan negara terhadap masyarakat sipil, buruknya layanan publik maupun praktek diskriminasi terhadap kelompok rentan. Namun, persoalan krusial yang menambah buram catatan penegakan HAM tahun 2011 adalah masih macetnya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat seperti Peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Mei 1998, penghilangan orang secara paksa, Talangsari, Wamena, dan Wasior.

Hal ini terjadi karena jaksa agung sebagai penyidik dan penuntut umum enggan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM lantaran tersandera berbagai kepentingan. Tahun ini Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan terhadap tiga kasus pelanggaran HAM berat yaitu Peristiwa 65, Petrus dan Lumpur Panas Sidoardjo. Namun, hasil penyelidikan tersebut kemungkinan besar akan mengalami nasib yang sama dengan hasil penyelidikan sebelumnya lantaran proses tindak lanjut, bergantung penuh pada political action lembaga lain yaitu jaksa agung.

Semua ini menunjukkan bahwa kita gagal belajar dari sejarah yang membiarkan waktu terus berlalu tanpa prestasi. Sampai hari ini negara abai dari tanggung jawabnya sebagai pemangku kewajiban (duty barrier) yang mencakup kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga negara. Fenomena tragis tersebut merefleksikan pandangan GWF Hegel, filsuf Jerman, "History teaches us that people have never learnt anything from history”. Sejarah mengajari kita bahwa manusia tidak pernah sukses belajar apa pun dari sejarah.

Karena itu, Komnas HAM sangat prihatin atas catatan buruk terhadap prestasi pemajuan dan penegakan HAM sepanjang tahun 2011. Tidak berlebihan jika kita semua mengingatkan komitmen pelaksanaan tanggung jawab negara (state responsibility) tersebut. Betapa tidak, karena hal ini bukan sekadar tanggung jawab moral, melainkan telah menjadi tanggung jawab konstitusional. Sudah waktunya Pemerintah mempunyai blueprint yang jelas dan prioritas dalam menangani isu HAM.


Tidak ada komentar:

Hukum dalam Blokade Politik