Tren Pelanggaran HAM 2011
Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM
Jumat, 30 Desember 2011
Menutup lembaran tahun 2011, wajah pemajuan dan penegakan HAM
masih tampak buram. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam tahun ini relatif
tinggi dan beragam, serta kerap diwarnai dengan tindakan kekerasan yang
berlatar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum atau aspek lain.
Pelanggaran HAM tersebut bukan saja menimbulkan trauma bagi
korban, melainkan juga berdampak secara multidimensional bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ironisnya, karena kebanyakan pelanggaran HAM dimaksud
nyaris tak tersentuh penyelesaian secara hukum maupun remedi.
Tren pelanggaran HAM di sepanjang tahun ini tecermin dari jumlah pengaduan
yang diterima Komnas HAM per Januari sampai Oktober 2011 adalah 3780 kasus.
Tren ini meningkat 14,37% dibanding dengan periode yang sama pada tahun 2010
sebanyak 3237 kasus. Berdasarkan data tersebut, tren pelanggaran HAM yang
ditangani Komnas HAM tahun ini rata-rata 378 kasus per bulan, atau 86 kasus per
minggu atau 12 kasus per hari.
Sebenarnya tren tersebut belum merefleksikan jumlah pelanggaran
HAM secara keseluruhan. Diduga, lebih dari dua kali lipat kasus pelanggaran HAM
yang tidak diadukan oleh masyarakat ke Komnas HAM karena berbagai faktor,
terutama ketidaktahuan atau ketidakmampuan masyarakat menyampaikan pengaduan
menurut ketentuan perundang-undangan.
Hal ini sungguh sangat memprihatinkan karena bukankah reformasi
yang digulirkan pada tahun 1998 merupakan akumulasi traumatik anak negeri yang
menolak praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat dengan pelanggaran
HAM. Sejak itu, isu HAM terus dikumandangkan hingga mencapai puncaknya ketika
MPR melegitimasi norma HAM dalam konstitusi baru kita, bahkan DPR bersama
pemerintah mengadopsi prinsip HAM sebagai skala prioritas melalui UU No.25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maupun UU No.39
Tahun 1999 tentang HAM juncto UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
dan berbagai instrumen HAM lainnya.
Tak hanya itu, untuk membumikan prinsip dan norma HAM menjadi
darah daging ibu pertiwi, pemerintah melalui Keppres No.50 Tahun 1993 membentuk
Komnas HAM. Bahkan, berdasarkan Vienna Declaration and Programme of Action of The
World Conference of Human Rights tertanggal 25 Juni 1993, pemerintah telah
mencanangkan sebuah gerakan yang terkemas dalam RANHAM Program tersebut mulai
diluncurkan melalui Keppres No.129 Tahun 1998 juncto Keppres No.61 Tahun
2003 untuk periode 1998—2003, kemudian diperpanjang melalui Keppres No.40 Tahun
2004 untuk periode 2004—2009, dan diperpanjang lagi melalui Perpres No.23 Tahun
2011 untuk periode 2010—2014.
Sayangnya, karena rangkaian upaya pemajuan dan penegakan HAM
sebagaimana dikemukakan di atas, tingkat keberhasilannya kurang begitu
signifikan dirasakan oleh publik karena cenderung dilaksanakan secara verbal,
parsial, sektoral dan setengah hati. Salah satu maintrigger tren
pelanggaran HAM yang masih tinggi pada tahun 2011 adalah rendahnya political
action para penyelenggara negara untuk menjabarkan prinsip dan norma HAM
dalam pelaksanaan tugasnya secara konsisten. Hal ini tecermin pada kasus
pelanggaran HAM tertinggi untuk kategori aktor yaitu unsur Polri sebanyak 1.075
kasus atau 28,44% dari total kasus, atau meningkat 18,88% dari 872 kasus pada
tahun 2010.
Bentuk pelanggaran HAM yang diadukan masyarakat dengan melibatkan
unsur Polri mencakup kasus penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang
maupun pengabaian pengaduan warga hingga tindakan kekerasan, terutama pada
penanganan terorisme dan aksi unjuk rasa. Penanganan Polri terhadap terorisme
dan unjuk rasa sering mengarah kepada extrajudicial killing akibat
penggunaan senjata yang berlebihan (excessive use of power). Kita tentu
tidak dapat membenarkan Polri atau siapa pun yang menegakkan hukum tetapi
mengabaikan norma HAM. Karena bukankah pimpinan Polri telah berkomitmen untuk
membangun sistem operasi Polri berbasis HAM melalui peraturan Kapolri No.8
Tahun 2009.
Bentuk pelanggaran HAM yang paling menyita perhatian publik tahun
ini tertuju pada kasus sengketa lahan (land tenurial conflict) yang
meningkat 20,56% dari 479 menjadi 603 kasus. Tingginya kasus sengketa lahan
tersebut dipicu oleh makin meningkatnya ekspansi investasi di sektor agraria dengan
memarginalkan hak tradisional masyarakat.
Ironisnya, karena syahwat ekspansionisme investor tersebut
dilegalkan bahkan berkolaborasi dengan decision maker sebagai upaya
untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara, tak ayal menggiring kekuatan
masyarakat sipil terlibat konflik dengan investor di satu sisi dan negara pada
sisi yang lain. Di mana masyarakat sipil selalu dikalahkan dan disalahkan,
bahkan dikriminalisasi jika mereka melakukan perlawanan pembelaan diri.
Adapun kasus pelanggaran HAM yang cukup serius di sepanjang tahun
2011 adalah kasus kekerasan di Papua dan di tempat lain di samping konflik
perburuhan, SARA, mafia peradilan, rendahnya keberpihakan kebijakan negara
terhadap masyarakat sipil, buruknya layanan publik maupun praktek diskriminasi
terhadap kelompok rentan. Namun, persoalan krusial yang menambah buram catatan
penegakan HAM tahun 2011 adalah masih macetnya penyelesaian peristiwa
pelanggaran HAM berat seperti Peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Mei
1998, penghilangan orang secara paksa, Talangsari, Wamena, dan Wasior.
Hal ini terjadi karena jaksa agung sebagai penyidik dan penuntut
umum enggan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM lantaran tersandera
berbagai kepentingan. Tahun ini Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan
terhadap tiga kasus pelanggaran HAM berat yaitu Peristiwa 65, Petrus dan Lumpur
Panas Sidoardjo. Namun, hasil penyelidikan tersebut kemungkinan besar akan
mengalami nasib yang sama dengan hasil penyelidikan sebelumnya lantaran proses
tindak lanjut, bergantung penuh pada political action lembaga lain yaitu
jaksa agung.
Semua ini menunjukkan bahwa kita gagal belajar dari sejarah yang
membiarkan waktu terus berlalu tanpa prestasi. Sampai hari ini negara abai dari
tanggung jawabnya sebagai pemangku kewajiban (duty barrier) yang
mencakup kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga negara.
Fenomena tragis tersebut merefleksikan pandangan GWF Hegel, filsuf Jerman,
"History teaches us that people have never learnt anything from history”.
Sejarah mengajari kita bahwa manusia tidak pernah sukses belajar apa pun dari
sejarah.
Karena itu, Komnas HAM
sangat prihatin atas catatan buruk terhadap prestasi pemajuan dan penegakan HAM
sepanjang tahun 2011. Tidak berlebihan jika kita semua mengingatkan komitmen
pelaksanaan tanggung jawab negara (state responsibility) tersebut.
Betapa tidak, karena hal ini bukan sekadar tanggung jawab moral, melainkan
telah menjadi tanggung jawab konstitusional. Sudah waktunya Pemerintah
mempunyai blueprint yang jelas dan prioritas dalam menangani isu HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar