Jumat, 30 Maret 2018

Ancaman Hedonisme dalam Remunerasi Polri



Saharuddin Daming, KOMISIONER KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Menjelang tutup tahun 2010, pemerintah, melalui Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2010, menetapkan program remunerasi bagi anggota Polri dan TNI.

Bukan hanya anggota Polri dan keluarganya yang merasa gembira atas adanya kebijakan tersebut, kita semua anak-anak negeri tentu ikut bersukacita atas perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan para anggota Polri dan TNI.

Betapa tidak, karena di balik tugas anggota Polri yang begitu berat sebagai Bhayangkari Negara, banyak kisah yang sangat memiriskan hati dari pasukan yang berseragam cokelat ini. Sudah bukan rahasia lagi jika kebanyakan anggota Polri, terutama yang berpangkat tamtama, bintara, bahkan perwira pertama hingga menengah, hidup dalam kategori miskin.
Program remunerasi bagi anggota Polri, sebagaimana yang tertuang dalam Perpres No. 73 Tahun 2010, diyakini oleh sebagian orang sebagai strategi ampuh untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus menjadi outcome peningkatan kinerja.

Kebijakan tersebut bertumpu pada doktrin klasik bahwa aparat akan mengoptimalkan kapasitasnya jika kesejahteraannya terpenuhi secara proporsional.

Penulis sendiri cukup skeptis terhadap doktrin semacam ini.

Sebab, berdasarkan fakta empiris, pemerintah pernah menaikkan gaji guru dan dosen secara signifikan dengan tujuan yang sama. Bahkan, jauh sebelum itu, para hakim dan jaksa telah lebih dulu menikmati kenaikan gaji secara spektakuler hingga 100 persen dengan maksud agar anak-cucu Dewi Keadilan ini kelak mampu memelihara amanat Dewi Keadilan, yaitu berani menolak suap dan melawan korupsi demi tegaknya keadilan.

Namun semua ini ternyata hanyalah kamuflase, kalau bukan ilusi. Sebab, sampai sekarang dunia pendidikan, apalagi dunia peradilan, ternyata masih tersandera para mafia yang tidak kenal malu dan rasa takut mengorbankan kebenaran dan keadilan dengan mengatasnamakan kewenangan profesi.
Tidak dapat disangkal jika program remunerasi untuk segenap aparatur pemerintahan, termasuk Polri dan TNI, di satu sisi memberi kebahagiaan bagi mereka yang memperoleh limpahan penghasilan. Namun, pada sisi yang lain, program yang menggelontorkan uang rakyat dalam jumlah yang sangat besar bisa disebut pemborosan terse lubung. Bahkan, jika ditelaah lebih jauh lagi, kebijakan tersebut dapat menciptakan ketidakadilan sekaligus inflasi.
Dalam struktur anggaran pemerintah, khususnya pada pos "belanja aparatur", terjadi pembengkakan yang sangat besar.

Akibatnya, pos anggaran "belanja publik"yang terarah langsung kepada program pelayanan dan pemberdayaan masyarakat hampir dapat dipastikan akan semakin kurus dan kerdil.

Ironisnya, atas segala inisiatif negara yang susah-payah mengumpulkan uang rakyat melalui pajak dan cara lain, ternyata sebagian besar hasilnya habis untuk membiayai aparatur pemerintahan. Sedangkan rakyat, sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini, terutama dari kalangan masyarakat miskin, sebesar 31,02 juta atau 13,33 persen dari jumlah penduduk Indonesia, hanya tingga gigit jari dan geram menyaksikan fenomena diskriminasi dan ketidakadilan dalam pembagian kue APBN dan APBD.
Bukan hanya itu, masyarakat miskin siap-siap untuk menghadapi beratnya tekanan hidup akibat inflasi setelah pemberlakuan remunerasi. Pada fase ini, terjadi peningkatan harga secara umum dan serentak yang dibarengi dengan penghasilan yang justru semakin kecil dan tidak menentu bagi masyarakat miskin.
Program remunerasi dalam tubuh Polri dan TNI sendiri dapat menciptakan gap penghasilan yang begitu lebar antara Pati dan anggota Polri serta TNI lainnya. Program tersebut juga dapat menjadi pemantik tumbuhnya konsumerisme yang berpuncak pada lahirnya perilaku korup.
Dalam hukum ekonomi dipahami bahwa pendapatan yang meningkat akan dibarengi dengan konsumsi yang meningkat pula. Bahkan sangat boleh jadi pendapatan yang tinggi merupakan instrumen paling subur menuju lembah hedonisme. Sebab, penghasilan yang berlimpah tanpa dibarengi pembinaan mental maupun pengetahuan manajemen keuangan rumah tangga secara baik akan menjadi lahan yang sangat subur bagi bangkitnya syahwat untuk mencari kepuasan setinggi-tingginya.
Tidak aneh jika maraknya penyalahgunaan narkoba hingga perilaku seks bebas maupun praktek perjudian yang sering melibatkan oknum aparat selama ini sebagian besar disebabkan oleh pengaruh hedonisme yang dipicu oleh kultur konsumerisme akibat tersedianya daya beli yang relatif tinggi.
Seorang anggota Polri dan TNI, atau siapa pun yang sudah terperangkap dalam syahwat konsumerisme dan hedonisme, pasti akan terus berupaya meningkatkan pendapatan sebagai alat pemuas kebutuhan. Apabila tidak tercapai secara normal dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, yang bersangkutan sudah mulai berpikir dan bertindak untuk menghalalkan segala cara demi memperoleh alat pe muas kebu tuhan secara cepat dan se besar-besarnya.
Di sinilah entry point terpicunya perbuatan kriminal di kalangan oknum aparat.
Sebenarnya fenomena seperti ini nyaris merupakan rahasia umum. Anehnya karena pimpinan Polri telah berkomitmen untuk berbenah diri dan membentuk citra polisi yang santun, ramah, serta profesional dalam memberi layanan bagi masyarakat. Citra buruk yang melingkupi tantangan tugas Polri dewasa ini menyiratkan kegagalan program pembinaan dan aktualisasi paradigma baru Polri. Ada sinyalemen yang menilai program remunerasi Polri dan TNI justru membiayai tindakan kekerasan dan berbagai perilaku tidak terpuji lainnya.
Tren performa destruktif seperti itu, secara sosio psikologis, terjadi karena faktor personalitas oknum polisi yang cenderung bertemperamen tinggi, arogan, atau ekspresif, serta memiliki heroisme dan solidaritas korps Polri secara berlebihan.

Tak pelak lagi, polisi tiba-tiba merasa paling berkuasa melakukan penggeledahan, penahanan, penyitaan, bahkan perusakan barang hingga perendahan martabat manusia dengan dalih tugas pengamanan negara.

Sejumlah oknum polisi sebe tulnya sering terlibat skandal indisipliner, pelanggaran kode etik, bahkan tindak kriminal.

Hampir sudah bukan rahasia lagi jika beberapa tempat maksiat maupun sindikat perdagangan narkoba justru dibekingi, bahkan dilakukan, oleh oknum polisi. Belum lagi tindakan amoral dan kriminal, seperti pungli, pemerasan, selingkuh, sogok-menyogok, dan lain-lain.

Sayangnya, skandal seperti itu amat jarang diekspos dan diselesaikan secara transparan, jujur, dan adil. Kalaupun kasus seperti ini dilaporkan kepada AnKum, tanggapan mereka, jika bukan sikap acuh tak acuh, kepura-puraan dalam menerima pengaduan untuk seterusnya dipetieskan, maka biasanya juga hanya dalam bentuk teguran, mutasi, demosi, dan berbagai sanksi yang sama sekali tidak menimbulkan efek jera.
Hadirnya lembaga Propam atau yang serupa dengan itu, sebagai institusi internal Polri yang berwenang melakukan penegakan kode etik terhadap anggotanya yang bermasalah, sering tidak berbanding lurus dengan misi penegakan hukum dan keadilan yang menjadi ekspektasi publik. Sebab, pihak yang melakukan investigasi terhadap kasus yang melibatkan terperiksa adalah tim dari lingkup internal kepolisian sendiri. Meski secara yuridis mekanisme itu sah, kualitas dan obyektivitas dari output investigasi tim yang dimaksudkan lebih sering menjadi instrumen pembelaan korps. Bagaimanapun buasnya harimau, tidak akan ada yang rela memakan anak sendiri, karena hanya orang gila saja yang mau membakar rumahnya sendiri.
Dengan demikian, program remunerasi bagi segenap anggota Polri menuntut introspeksi dan evaluasi secara berkala terhadap korelasi program remunerasi dengan peningkatan profesionalisme Polri secara maksimal. Dalam hal ini, paradigma baru Polri sebagaimana yang digembar-gemborkan pasca-pemisahan Polri dengan TNI, menyusul hadirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, perlu terus direaktualisasi dan direvitalisasi dengan mengedepankan profesionalisme polisi dalam menjalankan tugas-tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Jika hasil evaluasi oleh tim independen menemukan gagalnya reformasi yang ditandai dengan buruknya kinerja Polri, program remunerasi harus segera dihentikan.


Tidak ada komentar:

Hukum dalam Blokade Politik