Saharuddin Daming, KOMISIONER KOMISI
NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Menjelang tutup tahun 2010, pemerintah,
melalui Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2010, menetapkan program remunerasi
bagi anggota Polri dan TNI.
Bukan hanya anggota Polri dan keluarganya yang merasa gembira atas adanya
kebijakan tersebut, kita semua anak-anak negeri tentu ikut bersukacita atas
perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan para anggota Polri dan TNI.
Betapa tidak, karena di balik tugas
anggota Polri yang begitu berat sebagai Bhayangkari Negara, banyak kisah yang
sangat memiriskan hati dari pasukan yang berseragam cokelat ini. Sudah bukan
rahasia lagi jika kebanyakan anggota Polri, terutama yang berpangkat tamtama,
bintara, bahkan perwira pertama hingga menengah, hidup dalam kategori miskin.
Program remunerasi bagi anggota
Polri, sebagaimana yang tertuang dalam Perpres No. 73 Tahun 2010, diyakini oleh
sebagian orang sebagai strategi ampuh untuk meningkatkan kesejahteraan
sekaligus menjadi outcome peningkatan kinerja.
Kebijakan tersebut bertumpu pada doktrin klasik bahwa aparat akan
mengoptimalkan kapasitasnya jika kesejahteraannya terpenuhi secara
proporsional.
Penulis sendiri cukup skeptis
terhadap doktrin semacam ini.
Sebab, berdasarkan fakta empiris, pemerintah pernah menaikkan gaji guru dan
dosen secara signifikan dengan tujuan yang sama. Bahkan, jauh sebelum itu, para
hakim dan jaksa telah lebih dulu menikmati kenaikan gaji secara spektakuler
hingga 100 persen dengan maksud agar anak-cucu Dewi Keadilan ini kelak mampu
memelihara amanat Dewi Keadilan, yaitu berani menolak suap dan melawan korupsi
demi tegaknya keadilan.
Namun semua ini ternyata hanyalah
kamuflase, kalau bukan ilusi. Sebab, sampai sekarang dunia pendidikan, apalagi
dunia peradilan, ternyata masih tersandera para mafia yang tidak kenal malu dan
rasa takut mengorbankan kebenaran dan keadilan dengan mengatasnamakan
kewenangan profesi.
Tidak dapat disangkal jika program
remunerasi untuk segenap aparatur pemerintahan, termasuk Polri dan TNI, di satu
sisi memberi kebahagiaan bagi mereka yang memperoleh limpahan penghasilan.
Namun, pada sisi yang lain, program yang menggelontorkan uang rakyat dalam
jumlah yang sangat besar bisa disebut pemborosan terse lubung. Bahkan, jika
ditelaah lebih jauh lagi, kebijakan tersebut dapat menciptakan ketidakadilan
sekaligus inflasi.
Dalam struktur anggaran pemerintah,
khususnya pada pos "belanja aparatur", terjadi pembengkakan yang
sangat besar.
Akibatnya, pos anggaran "belanja publik"yang terarah langsung kepada
program pelayanan dan pemberdayaan masyarakat hampir dapat dipastikan akan
semakin kurus dan kerdil.
Ironisnya, atas segala inisiatif
negara yang susah-payah mengumpulkan uang rakyat melalui pajak dan cara lain,
ternyata sebagian besar hasilnya habis untuk membiayai aparatur pemerintahan.
Sedangkan rakyat, sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini, terutama dari
kalangan masyarakat miskin, sebesar 31,02 juta atau 13,33 persen dari jumlah
penduduk Indonesia, hanya tingga gigit jari dan geram menyaksikan fenomena
diskriminasi dan ketidakadilan dalam pembagian kue APBN dan APBD.
Bukan hanya itu, masyarakat miskin
siap-siap untuk menghadapi beratnya tekanan hidup akibat inflasi setelah
pemberlakuan remunerasi. Pada fase ini, terjadi peningkatan harga secara umum
dan serentak yang dibarengi dengan penghasilan yang justru semakin kecil dan
tidak menentu bagi masyarakat miskin.
Program remunerasi dalam tubuh Polri
dan TNI sendiri dapat menciptakan gap penghasilan yang begitu lebar antara Pati
dan anggota Polri serta TNI lainnya. Program tersebut juga dapat menjadi
pemantik tumbuhnya konsumerisme yang berpuncak pada lahirnya perilaku korup.
Dalam hukum ekonomi dipahami bahwa
pendapatan yang meningkat akan dibarengi dengan konsumsi yang meningkat pula.
Bahkan sangat boleh jadi pendapatan yang tinggi merupakan instrumen paling
subur menuju lembah hedonisme. Sebab, penghasilan yang berlimpah tanpa
dibarengi pembinaan mental maupun pengetahuan manajemen keuangan rumah tangga
secara baik akan menjadi lahan yang sangat subur bagi bangkitnya syahwat untuk
mencari kepuasan setinggi-tingginya.
Tidak aneh jika maraknya
penyalahgunaan narkoba hingga perilaku seks bebas maupun praktek perjudian yang
sering melibatkan oknum aparat selama ini sebagian besar disebabkan oleh
pengaruh hedonisme yang dipicu oleh kultur konsumerisme akibat tersedianya daya
beli yang relatif tinggi.
Seorang anggota Polri dan TNI, atau
siapa pun yang sudah terperangkap dalam syahwat konsumerisme dan hedonisme,
pasti akan terus berupaya meningkatkan pendapatan sebagai alat pemuas
kebutuhan. Apabila tidak tercapai secara normal dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya, yang bersangkutan sudah mulai berpikir dan bertindak
untuk menghalalkan segala cara demi memperoleh alat pe muas kebu tuhan secara
cepat dan se besar-besarnya.
Di sinilah entry point terpicunya
perbuatan kriminal di kalangan oknum aparat.
Sebenarnya fenomena seperti ini
nyaris merupakan rahasia umum. Anehnya karena pimpinan Polri telah berkomitmen
untuk berbenah diri dan membentuk citra polisi yang santun, ramah, serta
profesional dalam memberi layanan bagi masyarakat. Citra buruk yang melingkupi
tantangan tugas Polri dewasa ini menyiratkan kegagalan program pembinaan dan
aktualisasi paradigma baru Polri. Ada sinyalemen yang menilai program
remunerasi Polri dan TNI justru membiayai tindakan kekerasan dan berbagai
perilaku tidak terpuji lainnya.
Tren performa destruktif seperti
itu, secara sosio psikologis, terjadi karena faktor personalitas oknum polisi
yang cenderung bertemperamen tinggi, arogan, atau ekspresif, serta memiliki
heroisme dan solidaritas korps Polri secara berlebihan.
Tak pelak lagi, polisi tiba-tiba merasa paling berkuasa melakukan
penggeledahan, penahanan, penyitaan, bahkan perusakan barang hingga perendahan
martabat manusia dengan dalih tugas pengamanan negara.
Sejumlah oknum polisi sebe tulnya
sering terlibat skandal indisipliner, pelanggaran kode etik, bahkan tindak
kriminal.
Hampir sudah bukan rahasia lagi jika beberapa tempat maksiat maupun sindikat
perdagangan narkoba justru dibekingi, bahkan dilakukan, oleh oknum polisi.
Belum lagi tindakan amoral dan kriminal, seperti pungli, pemerasan, selingkuh,
sogok-menyogok, dan lain-lain.
Sayangnya, skandal seperti itu amat
jarang diekspos dan diselesaikan secara transparan, jujur, dan adil. Kalaupun
kasus seperti ini dilaporkan kepada AnKum, tanggapan mereka, jika bukan sikap
acuh tak acuh, kepura-puraan dalam menerima pengaduan untuk seterusnya
dipetieskan, maka biasanya juga hanya dalam bentuk teguran, mutasi, demosi, dan
berbagai sanksi yang sama sekali tidak menimbulkan efek jera.
Hadirnya lembaga Propam atau yang
serupa dengan itu, sebagai institusi internal Polri yang berwenang melakukan
penegakan kode etik terhadap anggotanya yang bermasalah, sering tidak
berbanding lurus dengan misi penegakan hukum dan keadilan yang menjadi
ekspektasi publik. Sebab, pihak yang melakukan investigasi terhadap kasus yang
melibatkan terperiksa adalah tim dari lingkup internal kepolisian sendiri.
Meski secara yuridis mekanisme itu sah, kualitas dan obyektivitas dari output
investigasi tim yang dimaksudkan lebih sering menjadi instrumen pembelaan
korps. Bagaimanapun buasnya harimau, tidak akan ada yang rela memakan anak
sendiri, karena hanya orang gila saja yang mau membakar rumahnya sendiri.
Dengan demikian, program remunerasi
bagi segenap anggota Polri menuntut introspeksi dan evaluasi secara berkala
terhadap korelasi program remunerasi dengan peningkatan profesionalisme Polri
secara maksimal. Dalam hal ini, paradigma baru Polri sebagaimana yang
digembar-gemborkan pasca-pemisahan Polri dengan TNI, menyusul hadirnya
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, perlu terus direaktualisasi dan
direvitalisasi dengan mengedepankan profesionalisme polisi dalam menjalankan
tugas-tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Jika hasil evaluasi oleh tim
independen menemukan gagalnya reformasi yang ditandai dengan buruknya kinerja
Polri, program remunerasi harus segera dihentikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar