Jumat, 30 Maret 2018

Kenaikan BBM Bukan Solusi Tunggal

Kenaikan BBM Bukan Solusi Tunggal


Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM
Kamis, 15 March 2012 


Jika ada krisis paling sensitif dalam peradaban modern saat ini, krisis itu adalah krisis energi. Itu karena industrialisasi tidak berbanding lurus dengan pasokan energi.

Indonesia yang sejak lama keluar dari OPEC lantaran telah berstatus sebagai negara pengimpor minyak ikut terimbas lonjakan harga minyak dunia yang telah mencapai 120 dolar AS/barel. Tarik-menarik kepentingan politik terasa kental karena berimplikasi langsung pada pos subsidi di APBN. Pihak pemerintah rupanya hanya meyakini satu resep jitu untuk mengamankan APBN, yaitu menarik subsidi secara bertahap dengan menaikkan harga BBM, khususnya premium dan solar, dari Rp4.500 menjadi Rp6.000/liter.

Kalau subsidi yang ditarik pemerintah dari kenaikan harga BBM, sebagian digunakan untuk perbaikan sarana transportasi yang lebih aman, nyaman, dan terjangkau, maka pengguna kendaraan yang menjadi sasaran kenaikan harga BBM bersubsidi, tentu akan merasa lebih adil.

Bila angkutan umum baik di dalam kota, antarkota, maupun antarpulau, dapat ditata dan disediakan dengan manajemen serta infrastruktur yang berkualitas. Masyarakat secara perlahan dapat digiring untuk menerima kenaikan harga BBM sebagai kompensasi yang memang harus dibayar oleh publik.

Politik-Bisnis

Namun, menguatnya tekad kubu pemerintah untuk menaikkan harga BBM di balik krisis energi dunia saat ini, dilatarbelakangi berbagai manuver kepentingan politik dan bisnis. Tercium aroma yang sangat menusuk hidung dari perselingkuhan politisi dan pelaku bisnis untuk mengeruk keuntungan di balik agenda kenaikan harga BBM.

Ada banyak indikasi yang memotret manuver tersebut sebagai upaya untuk menambah deposito bagi kekuatan politik, terutama the ruling party dan koalisinya menjelang Pemilu 2014. Adapula yang menuding kebijakan seperti itu merupakan liberalisasi. Namun, apa pun alasannya, kebijakan menaikkan harga BBM berpotensi melanggar HAM. Pasti timbul dampak sekunder dalam bentuk inflasi, pengoplosan BBM, dan berbagai modus penyimpangan lain.

Tidak ada yang dapat membantah kenyataan bahwa sebagian masyarakat kita sekarang ini hidup dalam kemiskinan dengan daya beli rendah. Apalagi jika harga BBM dinaikkan meski dengan persentase yang sangat kecil. Sebagaimana pengalaman di masa lalu, maka hampir semua harga barang bahkan jasa ikut terpicu naik secara serentak. Hal ini dapat memicu meningkatnya pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas. Negara sebagai pemangku kewajiban pemenuhan HAM warga negara akan berpotensi melanggar kewajibannya juga akan muncul potensi instabilitas.

Kebijakan pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin dalam bentuk dana BOS maupun BLT selain tidak membangun semangat produktivitas masyarakat, juga kerap menimbulkan korban saat antre berdesak-desakan. Pola seperti ini terkesan mempertontonkan keterbelakangan dan kemiskinan bangsa.

Tak cuma itu, kebijakan tersebut juga tidak adil dan tidak memberikan nilai tambah untuk memberdayakan masyarakat miskin. Sebab, kebutuhan rumah tangga miskin dan rakyat pada umumnya tidak hanya untuk membeli BBM, tetapi juga sembilan bahan pokok lainnya di mana tingkat harga yang terjadi pascapenarikan subsidi BBM, jauh lebih tinggi dari pada nilai BLT.

Upaya Lain

Untuk menghindari potensi pelanggaran HAM, pemerintah tidak seharusnya menjadikan subsidi BBM sebagai solusi tunggal mengatasi dilematika APBN, tetapi perlu mendayagunakan segala bentuk kecerdasan dan kearifan untuk menemukan solusi alternatif antara lain.

Pertama, renegosiasi kepada para kreditor tentang kemungkinan reduksi atau penghapusan bunga pinjaman bahkan utang Pemerintah yang membebani APBN hingga 25% setiap tahunnya. Kedua, menunda bantuan likuiditas kepada bank-bank pemerintah maupun swasta sambil menarik semaksimal mungkin dana negara yang banyak diparkir di berbagai bank baik domestik maupun asing. Ketiga, menunda realisasi megaproyek untuk menghindari defisit anggaran sehingga harga BBM tetap dapat dipertahankan. Keempat, mempertinggi eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber migas yang masih banyak belum tersentuh oleh kemampuan finansial dan teknologi selama ini.

Kelima, menurunkan gaji para pejabat, terutama melalui program remunerasi yang justru menciptakan kesenjangan terlalu jauh dengan kondisi kehidupan masyarakat pada umumnya. Keenam, pemerintah harus mampu mendisiplinkan diri untuk menata sistem pemerintahan yang efektif dan efisien. Terutama melakukan tindakan preventif terhadap manajemen BUMN, khususnya Pertamina dan PLN yang banyak melanggar prinsip efisiensi dan efektivitas.

Tidak ada komentar:

Hukum dalam Blokade Politik